Friday, January 28, 2011

Dari Dua Gelas Kopi & Pantai-Pantai Nan Indah



Berawal dari istilah OMDO (Omong Doank) dari seorang sahabat yang mengundang untuk berkunjung ke NTB. Dan itulah keinginan sejak beberapa tahun terakhir yang selalu tertunda dan terhenti dikota-kota lain dipulau jawa. Akhirnya ku luruskan niatku dengan menyiapkan barang-barang yang akan ku bawa. Tepat tanggal 12 September2009 sore, setelah berbuka puasa dan nongkrong di daerah Braga bersama 2 orang sahabat ditemani DUA GELAS KOPI dan sebungkus rokok kesukaan kami, sambil mendiskusikan rencanaku ini. Setelah kembali ke kamar kostanku, ku relakan untuk melewatkan pertandingan klub favoritku MU vs Totenham yang berakhir dengan kemenangan MU 3-0, agar aku bisa tidur lebih awal tak seperti hari-hari biasanya dibulan ramadhan.


Bangun pukul 03.00, ku sempatkan sahur di rumah makan padang favoritku. Setelah sahur dan mandi, bergegaslah aku menuju stasion kereta api, karena kereta api yang akan ku tumpangi akan berangkat pukul 06.15. Aku pun tiba tepat pukul 06.00 distasion kereta, dan mengambil posisi di gerbong nomor 4, dengan posisi berdiri karena pada musim liburan penumpang sangat padat. Namun setelah melewati stasion kroya akhitnya aku mendapatkan juga tempat duduk yang layak. Sakin nyamannya tempat duduk yang ku dapat tak terasa perjalanan banyak terlewati dengan terlelap. Sehingga kota Jogja baru ku sadari telah dilalui, ketika telah tiba dikota solo. Setelah kereta beranjak meninggalkan kota Solo, aku mendapatkan seorang teman berbincang-bincang, panjang lebar. Membahas identitas, pendidikan, pekerjaan, merokok bareng, dan banyak hal lainnya termasuk informasi yang sangat membantu perjalananku menuju Lombok, Mataram dan Sumbawa. Satu hal yang tak ku prediksi adalah durasi tempuh. Karena sebelumnya aku biasa menggunakan kereta api bisnis menuju Surabaya, dengan durasi perjalanan 11-12 jam, namun dengan kereta ekonomi durasi tempuhnya menjadi 18 jam.


Sangat sangat melelahkan, dan cukup mengkhawatirkan. Karena kereta tiba pukul 23.00 hari Minggu 13 September 2009. Kuputuskan untuk menginap distasion kereta api, Karen kebetulan banyak kursi-kursi panjang yang kosong dan bagus untuk berbaring dengan berbantal ranselku. Dan aku tak kepikiran untuk menghubungi rekan-rekanku yang berdomisili di Surabaya, gimana kepikiran untuk menghubungi rakan untuk menghubungi keluarga saja tak terpikiran sama sekali. Yah, hanya ingin merasakan style backpacker Eropa, ternyata bisa jg dilakukan di Indonesia. ha..ha..ha..! walaupun ada sedikit rasa cemas. No problem.
Hari pun berganti, ku terjaga pada pukul 03.30 pagi tepat tanggal 14 September 2009. Langsung saja aku menuju rumah makan yang berada didalam stasion untuk menyantap sahur, cie backpacker alim taat puasa. bisalah. Setelah itu ku sempatkan berbincang-bincang dengan penjaga raumah makan tersebut sekalian untuk mendapatkan informasi untuk melanjutkan perjalanan. Tujuanku selanjutnya adalah terminal bus bungur asih, namun sebelumnya aku menunaikan shalat subuh disebuah masji didepan stasion Wonokromo.

Dan tibalah diterminal bungur asih dengan menumpangi ELF dengan ongkos Rp5.000,00. Masuk terminal sambil bertanya kepada petugas pelayan rakyat yang nyatanya abdi Negara, tapi ternyata bisa dibilang solusi yang diberikan cukup menjebak. Tariff yang ditawarkan diluar dari budget yang telah ku siapkan dan disarankan oleh sahabatku sebelumnya. Sehingga ku urungkan niat untuk membeli tiket bus jurusan Surabaya- Mataram, karena aku yakin pasti ada harga yg sesui dengan budget yang telah ku siapkan. Dan ku coba mendapatkan informasi dari sahaatku yang menantangku untuk mengunjungi NTB. Dan yupz, informasi itu telah ku dapatkan dari sahabatku. Bahwa ada alternatif untuk tarif murah, yah itu dia tarif nembak ke kondektur atau supir bus.

Karena berdiam diri dibawah pohon untuk menghindari kejaran para calo yang tak beradap, akhirnya ku beranikan diri untuk mendekati kondektur bus jurusan Mataram yang kebetulan lewat didepanku, dan bertanya:
“Ke Mataram masih ada?” tanyaku.
“Kau ikut akulah ya..!” Jawab kondektur dengan logat Sumbawa yang kental.
“Berapa harga ke Mataram?” tambahku, tanpa meyebut berapa harga kursi, sang kondektur mengambil tasku yang sedikit ku pertahankan sebelum mengetahui harga yang ia tawarkan.Namun akhirnya sang kondektur menjawab:
“Bayar ke aku aja Rp 200.000.00. tapi kalau ditanya orang-orang disekitar terminanl bilang aja kau ikut aku bekerja disini”.
Ku jawab saja iya, tanpa mengerti maksudnya. Setelah itu sang kondektur bernama Willi itu mengambil ransel, tas samping, dan kulukku sembari meletakkannya dekat supir. Tak lama setelah itu, iya mengajakku ke belakang bus, sambil ngobrol-ngobrol singkat dan memberiku seragam kondektur, yang sama sekali tak ku pahami apa maksudnya ia memberi seragam itu. Sang kondektur pun masuk kedalam bus, dan keluar kembali sambil membawa peralatan mandi, dan meminta uang receh Rp 2.000,00 kepadaku. Sebelum menuju kamar mandi ia berpesan padaku: “liat-liat bus ya, aku mandi dulu, nanti kita jalan lagi sekitar jam 2 siang”. Setelah hampir setengah jam, baru ku pahami bahwa aku telah menjadi kondektur dadakan, dengan mendapatkan seragan dari sang kondektur.

Terlebih-lebih ketika terjadi pengecekan penumpang oleh pihak PO. Semua nampak bodoh, karena berdasarkan improvisasi saja. Karena jumlah penumpang dari 2 bus tidak merata, maka terjadi pembagian penumpang untuk meratakan jumlah penumpang ke dua bus itu. Dan parahnya yang melakukan itu adalah pimpinan dari PO itu langsung. Karena menyadari hal ini, sang kondektur yang menobatkanku sebagai kondektur dadakan mengajakku ke bagian belakang bus, sambil menanyakan bagaimana keadaan mesin? Air radiator? Sudah semuanya? Namun hal itu diucapkan dalam bahasa Sumbawa yang sama sekali tak ku mengerti. Semakin Nampak bodoh, karena hal yang tak ku mengerti namun ku jawab dengan menganguk-anggukan kepala, yang mungkin berarti iya, semuanya sudah saya lakukan. Dan sekali lagi iya menyuruk ku untuk masuk dari pintu belakang dan mengunci pinti serta mengikatkan tali dibagian pintu itu.

Walau dari hasil tebakak-tabakan namun tugas yang ku kerjakan ternyata sesuai dengan perintah. Setelah melaksanakan semua tugasku, akhirnya tempat dibagian belakang bus diwakafkan sang kondektur kepadaku, disitulah tempat persemdianku sepanjang perjalanan. Namun belum selesai sampai disitu, masalah kondektur. Karena para penumpang lainnya menyangka aku adalah kondektur asli, ketika sedang tertidur pulas, ada penumpang yang membangunkan ku dan berkata, tolong ambilkan susu anak saya dibawah. Sembari menunjuk ke bagian bawah tunpukan yang sangat besar bagaikan tumpukan springbed sebanyak tiga susun. Melihat barang yang ditumpukkan itu, dan sebelumnya sempat ku dekati sebelum menjadi kondektur dadakan, barang-barang tersebut sangatlah berat, karena berisi televise, dan pakaian para penumpang yang berasal dari Kalimantan. Dan menyusul juga berbagai permintaan dari para penumpang lainnya. Sambil menahan diri karena shaum ramadhan maka, ku berkata kepada penumpang: “Pak, maaf, saya juga penumpang, sama-sama bayar, sama-sama dapat tempat duduk, saya cuma membantu kondektur tadi, kondektur aslinya yang didepan. Salahkan hubungi dia kalu butuh bantuan”. Dan ku kembali ke singgasanaku dibagian belakang untuk melanjutkan tidurku.

Dan tak terasa perjalanan talah berada dibagian timur pulau jawa, Probolinggo tepatnya. Para penumpang termasuk saya didalamnya turun untuk makan siang, dan sholat. Namun karena masih dalam keadaan shaum maka aku hanya membeli makanan dan minuman untuk persiapan buka puasa. Perjalanan pun dilakukan, akupun teridur, terbangun, tertidur, terbangun dalam perjalanan tersebut, ketika kembali terbangun ketika melihat PLTU Paiton sumber listrik yang menerangkan Jawa-Bali, sangat-sangat besar mungkin lebih besar dari bangunan BSM diBandung.

Waktu berbuka puasapun tiba, karena dalam hadist diriwayatkan untuk segera membatalkan puasa jika telah tiba waktunya, maka bekal yang telah ku persiapkan langusng ku santap tanpa sisa. Nikmat rasanya bekal seadanya itu. Dan sakin nikmatnya, akupun kembali terlelap pulas disinggasanaku. Hingga daerah paling ujung pulau jawa telah ku tapaki baru ku kembali terjaga, dank arena dibangunkan oleh kodektur asli (ada asli ada yang bajakan), karena aka nada pemeriksaan KTP di pelabuhan Katapang. Ternyata dampak kreativitas ekstrim alm. Amrizi CS lah yang membuat pemeriksaan dilakukan. Para penumpang diminta menunjukan KTP, dan singgasanku yang super nyaman untuk terlelap menjadi tempat pernyelundupan para penumpang yang tak berKTP.

Setelah melewati pos pemeriksaan, perjalanan dilanjutkan menuju Pulau Dewata Bali never Ending Island. Yang menurutku pada saat itu tak ada indahnya, karena perjalanan yang dilalui sangat gelap dan merupakan hutan-hutan (pantas aja..). Perjalanan selalu saja mengundang rasa kantuk dan seperti menina-bobokan sehingga ku terlelap hingga terjaga ketika tiba di Padang Bay, untuk menyeberang ke wilaya NTB. Penyeberangan menggunakan kapal ferry dengan jarak tempuh yang cukup lama sekitar 6 jam, dan ternyata dalam perjalanan aku mendapatkan teman cilik, yang mengajakku untuk berkeliling kapal, dan keadaan itu mengingatkanku akan masa-masa dibangku SMP dulu ketika sering pulang ke tanah Sulawesi menumpangi kapal-kapal PELNI yang ukurannnya lebih besar, dimana aku dan kawan-kawanku sering bermain petak umpet, menjelajahi seluruh bagian kapal berdek 5 (berlantai lima), bersantai dikafe kapal, dan nonton diruang teater ( moment inoubliable).

Ternyata dalam penyebrangan kali ini membangkitkan kembali mabuk laut yang pernah ku alami ketika pertama kali menumpangi kapal laut yang hampir 10 tahun silam. Namun, indah nian pemandangan ditengah lautan itu, rasa pusingku pun kalah, sementara temen cilikku itu dengan semangatnya mengajak lari-larian dibagian paling atas kapal. Namun akhirnya aku KO juga kalau dalam istilah tinju, rasa pusing dan mules tak bisa ku bending, sehinnga aku harus berdiam diri didek paling atas, dekat musholah agar gelombang laut musim barat tidak terlalu terasa. Dan agar teman cilikku tidak menemukan ku. Kemudian penyeberangan selama 6 jam itu berakhir juga, kapal bersandar dipelabuhan didaerah Lombok Timur. Bus-bus dan kendaraan lainnya serta penumpang yang tanpa kendaraan pun keluar, dari kapal penyeberangan. Kemudian perjalanan dilanjutkan menuju terminal kota Mataram.Lombok I’m Coming……



Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, akhirnya tiba di terminal kota Mataram. Dan untuk mencari aman dari kebutaanku akan kota Mataram, akupun langsung menghindar dan menjauhkan kan diri dari serbuan tukang ojek yang menyerbu. Sebelumnya, sahabatku yang merupakan tujuan silaturahmi tidak berada di Mataram. Namun tiba-tiba saja HPku berdering dengan sahabatku itu Potex, langsung saja ku angkat. Dalam perbincangan singkat ditelepon, dia mengabarkan bahwa dia telah diMataram, dan bersedia untuk segera menjemputku. Dan akhirnya kami pun tiba dikediamannya kamar kostan yang jika di daerah Bandung bisa mencapai harga Rp 9.000.000/tahun. Tapi di sana sangat jauh dari harga itu (secara Bandung PVJ geto loooh…).

Kemudian segeralah aku mandi, karena perjalanan 2 hari, 2 malam aku lewatkan tampa mandi hanya sekedar cuki muka dengan scrab dan semprotan colone saja. Setelah itu langsung ku siapkan kegiatan paling indah saat itu, tak lain adalah tidur. Akhirnya kembali tidur dengan perlengkapan tidur yang normal.
Wake up, mengawali malam pertama ditanah Lombok. Setelah berbuka puasa dengan es kelapa, kawanku mengajak untuk memulai petualangan membedah lautan dan pantai Lombok. Tujuan pertama adalah pantai yang taka sing lagi namanya bagiku, dan keinginan untuk menapaki tempat itu sudah ada sejak dibangku SMA. Ternyata pemandangan malam itu walau sedikit samar tak menutupi keindahan pantai nan eksoti itu.

Senggigi penuh kilaun lampu-lampu, dan hamparan pasir putih yang memantulkan cahaya lampu, mengeluarkan daya tarik tersendiri Senggigi malam hari. Karena cuaca tak mendukung, kami hanya menghabiskan waktu 1 jam saja di Senggigi ditemani dua gelas kopi dan sahabatnya sebungkus rokok. Dalam perjalanan pulang ada sedikit kenaasan, ban motor bocor dan tak jauh dari Senggigi sedang pemadaman lampu, dan mendoronglah hingga menemukan tampat tambal ban. Kembali ke kediaman sahabatku dan beristirahat.

Tak puas akan kunjungan dalam keadaan gelap, keesokan harinya, pukul 3 sore kami putuskan untuk menjajal kembali pantai Senggigi. Dengan rute ke pasar ramadhan untuk membeli takjil, dan makan malam yang huuufff maknyoslah makanan khas Lombok yang pedazz dan nikmat. Melihat senggigi disore hari subhanallah, ciptaan Allah. Hamparan pasir putih, dengan desiran ombak yang menghempas pantai perlahan, ditambah tata posisi cottage yang menghiasi pinggir pantai dengan desain yang elok, menggugah pesona pantai Senggigi. Ditambah, alam seberang pantai, berupa bukit-bukit dengan pepohonan yang masih asri, menyejukkan alam sekitar pantai. Namun lagi-lagi cuaca kali itu kembali Allah memberikan anugrah untuk kepada makhluknya, hujan rintik-rintik membuat kesmpatin untuk mengitari senggigi harus dihentikan.

Jum’at 18.09.2009, tak terbangun untuk sahur, namun ku niatkan untuk tetap melaksanakan shaum karena memasuki hari-hari terakhir bulan ramadhan. Tepat pukul 10.00 kami pun beranjak menuju terminal bus untuk pergi ke tanah Samawa Samalewa, that’s Sumbawa Island yang terkenal dengan madu dan minyak urut khasnya yang manjur.

Setelah mendapatkan bus yang sesuai dengan keinginan kami, bergegaslah untuk menumpangi bus itu dan tak lama setelah itu bus pun beranjak. Ku nikmati perjalananku dengan tak melewatkan pemandangan dikiri dan kanan jalan. Bagiku setiap titik jangan terlewati, hamparan luas sawah hijau kekuning-kuningan, lading, bukit, gunung, tanaman-tanaman khas daerah menjadi bahan obrolan kai, dan sahabatku menjelaskannya secara detail. Tak terasa perjalan telah tiba di pelabuhan penyebrangan. Kendaraan bernjak naik, dan kapalpun melepas jangkar meninggalkan pelabuhan, aku sempatkan menganbil gambar dengan kamera digital butut, sahabat setiaku berpetualang.

Mangambil posisi dibagian dek teratas, ku abadikan view-view nan elok ditengah lautan biru yang sedikit berombak. Hingga gerimis dan ombak semakin besar. Tatkala berpapasan dengan kapal-kapal lain, atau melintasi pulau-pulau kecil tak berpenghuni tak luput dari tangkapan kameraku. Perjalanan yang ditempuh selama 2 jampun tak terasa, dengan menikmati ciptaan Allah yang luar biasa itu. Tepat pukul 16.00 WITA, kapal melego jangkar. Namun harus menempuh perjalan selama 2 jam lagi untuk mencapai kota Sumbawa yang ketika itu tetap nampak gersang walaupun baru saja disiram gerimis. Kembali pantai-pantai nan eksotis, rumah-rumah penduduk yang khas masyarakat pesisir menghiasi pinggiran pantai. Ditengah perjalan tiba-tiba terdengar bunyi yang mendebarkan jantung dan memekikkan telinga, mengundang decak kaget para penumpang, yang saling perpandangan. Ternyata knalpot bus yang kami tumpangi patah dan terseret dijalan beberapa meter.

Kondektur yang merangkap teknisi langsung saja mengambil alih tugasnya itu. Ku anggap itu mement yang jarang terjadi, langsung saja ku abadikan dengan dua kali jepretan kamera, dan mengabadikan alam sekitar yang sangat natural, pohon-pohon kelapa yang memagari pinggiran jalan yang sepi, dan asri. Setelah memperbaiki tanpa hasil, akhirnya bus pun dijalankan tanpa knalpot, dan bus tak terasa telah tiba diterminal kota Sumbawa pada pukul 18.05 WITA, bertepatan dengan waktu berbuka yang telah tiba. Aku segerakan berbuka dengan makanan ringan dan soft drink. Setelah menghabiskan sebatang rokok akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju rumah sahabatku itu dengan menumpangi “bemo” sebutan untuk angkutan umum disumbawa. Dengan obrolan canda, akrab, sang supir pun menjalankan bemo tetap dengan canda dan lelucon dalam bahasa Sumbawa yang tak ku mengerti.


Dan ternyata baru ku sadari bahwa posisi dudukku di jok depan tidak aman, karena pintu bemo yang sudah udzur tidak memiliki pengunci, untuk mencari aman kuletakkan tangan ku dibagian atas untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Setalah tiba sekitar rumah sahabatku, kami harus melanjutkan perjalan dengan ojek, namun sebelumnya kami sempatkan dengan menyantap sate kambing khas Sumbawa yang berada didekat kantor Pemerintah Kabuten Sumbawa. Tak lama setelah itu, dengan menumpangi 2 ojek kami melanjutkan perjalanan untuk segera tiba dikediaman sahabatku, 5 menit kurang perjalanan dan akhirnya tiba juga dirumah sahabatku dan langsung disambut sang Ibunda. Sedikit bercakap-cakap yang agak menginterogasiku, dan hal wajar buatku agar terbukti bahwa kawan anaknya ini benar-benar anak baik-baik (sumpah deh..baik banget..;) ). Setelah itu akupun langsung mandi, bersantap malam dengan makanan khas Sumbawa untuk pertama kalinya, dan c’est delicieux bagiku.

Dengan keadaan sedikit fresh, aku pun langsung menghubungi sahabat-sahabat se-gank sekolahku dulu, yang terpisah jarak yang jauh namun selalu dekat dihati. Panjang lebar, kami berbagi cerita dan cetusan untuk berkumpul kembali seperti yang kami lakukan dikediamanku diBandung beberapa bulan sebelumnya. Kemudian ayahanda sahabatku pun tiba dan akupun bersalaman sembari memperkenalkan diri dan sedikit bebincang-bincang. Karena keadaan tak memungkinkan, mata ini tak kuasa menahan kantuk dan pegal badan, maka aku berpamit untuk istirahat lebih awal dengan hawa panas kota Sumbawa



Sabtu 19.09.2009, Sahabatku mengajakku untuk mengunjungi sanak saudaranya dikampung, tak jauh memang dari kota Sumbawa namun perjalanannya serasa perjalan antar kota, padahal jarak tempuh Cuma 20 menit. Tapi tracknya cuy, bisa dibilang dasyat, belum lagi jalannya sedikti membutuhkan skill untuk bisa menghindar, dan ngerem mendadak motor. Setibanya dikampung tersebut, terbesit dalam pikiranku bahwa ini adalah kampong nelayan, dengan rumah panggung khas para nelayan dan suhunya lebih dasyat dari kota Sumbawa sendiri, karena kampong itu diapit oleh bukit-bukit gersang, padang savana dan tandus. Setelah berkeliling ke rumah-rumah sanak saudara sahabatku, melihat sapi-sapi milik sahabatku, dan aku pun berdian dibale bamboo dengan tiupan angin sepoi-sepoi dan tak lama tertidur pulas.

Terbangun dikala hari mulai sore, dan kami pun bergegas pulang dengan membawa 1 kendaraan tambahan, untuk ku pakai jika ingin jalan-jalan keliling Sumbawa. Setelah tiba dirumah, tak lama waktu berbuka pun tiba dan kami langsung berbuka seta bersantap malam kembali dengan makanan yang khas. “Sepat” nama makan yang tiba-tiba menjadi makanan kesukaanku diSumbawa, berbahan dasar terong, dicampur dengan daging ayam atau ikan, santan atau tanpa santan, sayur kelor, sedikit jeruk dan cabe, wah quel est délicieux gourmand. Setelah sedikit beristirahat, kami pun berkunjung ke rumah salah satu sahabat yang juga asli Sumbawa Supratman “Prat”, cerita-demi cerita kami keluarkan, dan tak lama pula datang lagi salah satu kawan lama yang juga asli Sumbawa Kurniawan, karena personil semakin bertambah kegiatan nongkrong dimalam takbiran menjadi pilihan sambil menikmati beberapa gelas Juice. Tak terasa malam semakin larut ditengah cerita dan tawa bersama, dan kami pun kembali ke rumah masing-masing ( rumahku jauh, ga jadi ah aku ikutan ke rumah temen aja ah..)

Ahad 20.09.20009, Adalah hari kemenangan umat muslim, bertepatan dengan 1 Syawal ga tau berapa hijriah,oh iya 1430 H. Setelah terbangu disubuh menjelang pagi, akupun begegas mandi dan sholat subuh lalu sarapan pagi bersama. Setelah itu kami bergegas untuk melakukan sholat Idul-fitri dimasjid terdekat yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah sahabatku. Tak lama setelah memanjatkan takbir, lalu sholat, dan khutbah pun dikumandangkan, namun tak kuat mata ini menahan kantuk dan khotbah Idul-Fitri terlewati tanpa mampu kuresapi nilai-nilainya sepenuhnya, sesuatu yang ku sesalkan. Kemudian, tak jauh berbeda dengan tempat-tempat lain yang pernah ku singgahi tatkala Idul-Fitri, para jama’ah saling bersalaman, meminta maaf satu dan lainnya. Kembali ke rumah untuk bersalam-salaman dengan anggota keluarga, dan diteruskan dengan bersilaturahmi dengan tetangga disekitar rumah, lalu dilanjutkan dengan berkunjung kembali ke kampung tempat yang telah ku kunjungi beberapa hari sebelumnya.

Suatu pelajaran berharga dapat ku petik pada perjalananku kali ini, yaitu perayaan hari kemenangan ummat Muslim setelah melewatkan perang melawan hawa-nafsu, haus dan dahaga. Idul-Fitri disumbawa sangat sederhana, yang diutamakan benar-benar adalah esensinya, tak ada terlihat makanan yang berlebihan yang tuan rumah pun susah untuk menghabiskan dimeja makan, tak ada kemewahan pakaian yang dikenakan seperti layaknya diberiatakan ditelevisi, tak ada pawai-pawaian dimalam takbiran yang ramai dan membahayakan pengendara kendaraan dijalanan, dan tak ada kemacetan seperti yang terjadi di Ibu kota negara, seta kota-kota besar lainnya.


Selasa 22.09.2009, Berkunjung ke rumah salah satu adik kelas kami dahulu “Randi”, sambil bersilaturahmi dalam rangka lebaran. Ternyata setelah hampir setengah hari bertandang sambil bercerita keadaan kuliah dimasing-masing kota, aku juga mendapatkan kawan-kawan baru, “memet dan “Koes” alias “Boni”. Mereka cukup terbuka dan menerima kedatanganku diSumbawa. Bahkan beberapa hari setelah itu mereka tak canggung untuk menjemputku hanya sekedar untuk berkeliling bersama menikmati tempat-tempat baru bagiku. Bagiku semua adalah rezeki, karena silaturahmu mendatangkan rezeki apapun bentuknya, tak harus hanya yang dapat dihitung dengan materi. Setelah personil semakin bertambah dengan kedatangan kawan lamaku juga : “Molen” yang sekarang kuliah dikota malang, dan “Akin” yang kuliah sekota denganku bandung. Maka kamipun membuat janji untuk pergi ke Pantai “Kencana”, dan aktifitas disana tak lain adalah bermain sepak bola pantai, berenang, berjemur (beuki hideung ateuh), ngobrol, bercanda-tawa bersama : ”Aku, Boni, Kurniawan, Memet, Molen, Randi , Akin dan Potek, ditambah dasyat indahnya pemandangan pantai yang masih alami dengan sajian sunsetnya, yang tak lupa ku abadikan dengan beberapa kali jepretan kamera saktiku, yang butut namun telah menemaniku berpetualangan mengelilingi pulau Jawa, dan Nusa Tenggara Barat. Dengan tambahan foto-foto pantai Kencana Sumbawa, maka bertambah pula koleksi foto-foto pantai nusantara yang telah ku singgahi, dan semoga semua pantai-pantai nan indah di negeri ini dapat ku singgahi semuanya, dari Sabang-Merauke. Amien….


Kamis 24.09.2009, kembali bermain bersama ke pantai kencana dengan personil yang sama. Namun ada tambahan, kami juga membawa serta dua orang adik dari kawanku “Prat”. Ketika baru saja tiba, kami langsung saja mengabadikan pemandangan dengan berfoto bersama dengan backgroup pantai deari segala sudut. Kemudian sebagai olah raga favorit, sepak bola pantai pun tak luput dari aktifitas rutin, permainan semakin seru dengan tak-tik ala futsal kami mainkan hinnga terasa capek. Lalu berenang dan tenyata ada aktifitas baru bagi kami, yaitu berkano. Dengan menyewa kano ditempat penyewaan seharga Rp10.000, kami dapat berkano sepuasnya.

Akupun tak melewati kesempatan kali ini, karena takkan ku temui dikota Bandung. Bersama Prat, dengan kano masing-masing kami berkano hingga ke tengah laut, teman-teman yang bersantai dibibir pantai pun terlihat kecil. Kemudian aku dan Prat mengikatkan kano ke bagian kaki dan berenang bersama sekitar satu mil laut, setelah merasa tak kuat kami kembali berkano. Nampaknya kegiatan kami berdua mengundang rasa penasaran salah satu dari kawan-kawan yang berdiam dibibir pantai. Potek dan adik kawan ku langsung mengambil salah satu kano yang telah kami gunakan, dengan berat badan yang berbeda antara Potek yang tidak bisa berengan, dan adik kawanku yang bisa berenang nampaknya menimbulkan kekhawatiran bagi kami, tapi kenekatan membuat mereka untuk melanjutkan. Dimulai disekitar laut dangkal dan beranjak ketengah sedikit demi sedikit.

Setelak berputar-putar beberapa lama, ternyata keduanya tak mampu mengatur keseimbangan kano, terutama Potek dengan berat badan yang lebih. Kano pun terbalik, adik kawanku pun segera memegang tangan Potek dan berusaha mengevakuasinya, namun karena kepanikan, Potek bergerak bagaikan orang yang sedang mengamuk, dengan sigap Prat, langsung berenang menghampiri mereka, dan akupun yang sedang memegang kamera sambil menceburkan setengah tubuhku ke laut berlalu ke pantai dan menyimpan kamera poketku dan berenang menghampiri.

Namun semua dapat diatasi, dengan memberi kano ke Potek, dan akhirnya Ia bisa dievakuasi. Sekiranya dia akan trauma dan ketakutan akan peristiwa itu, namun dialah yang mulai memecahkan tawa diantara kami, dengan berkata padaku: “Ris, gue lupa kalau gue agak bisa berenag”. Dan jadilah peristiwa itu bahan tertawaan. Setelah hari beranjak sore, kami berbenah dan menggati pakaian, kemudian kembali ke kediaman. Maka hari itu menjadi hari terkhirku bermain bersama kawan-kawan lamaku dan kawan-kawan baruku, karena keesokan harinya Aku dan Potek harus kembali ke Mataram. “See you all my lovely friends”.


Hari yang cerah 27 September 2009, bahkan cuaca panas yang konsisten membakar hari terakhirku di Bumi Samalewa, setelah packing barang dan sarapan Aku dan Potek pun akan segera menuju Terminal Sumbawa, diantarkan oleh sang Ayahanda kawanku dan seorang saudaranya sepupunya. Hari itu aku bersama Ayahanda kawanku yang sepanjang perlajanan member pesan padaku dan meminta untuk berkunjung kembali ke Sumbawa jika memiliki rezeki dan berkesempatan, memberikan petuah yang sangat bermanfaat bagiku. Dealam perjalanan ku sempatkan mengabadikan foto gedung Pemerintahan Pemda Kabuaten Sumbawa yang bertuliskan “Sabalong Samalewa”, yah salah satu kebiasaanku jika berkunjung sebuah daerah akan selalu mengabadikan bangunan pentingnya. Tak terasa kami tiba di terminal dan segera mencari bus tumpangan, dan segeralah kami mengambil tempat. Tujuan kami adalah salah satu daerah yang dekat dengan terminal penyeberangan Kayangan dan dengan menumpangi bus jurusan Dompu.
Lalu kami berkunjung ke rumah salah satu kakak sepupu Potek. Dirumah keluarganya itu kami berbincang-bincang diluar rumah diatas gazebo bambu dengan hembusan angin malam yang memperakrab suasana.

Namun waktu tak mengizinkan kami untuk berlama-lami karena pukul 08.00 kami harus beranjak menuju terminal penyebrangan dengan diantarkan oleh dua orang pemuda yang masih keluarga Potek. Perlajanan kami tempuh selama 45 menit menggunakan sepeda motor. Dalam perlajanan diskusi-diskusi pendek tentang pengalaman kami yang kurang jelas karena suara kami terbawa oleh angin kencang. Sang pengemudi motorpun tak luput membagi pengalaman perjalanannya ke Sulawesi melalu jalur laut dari daerah Bima. Kami pun memasuki pintu gerbang Pelabuhan dan kami segera melakukan pembayaran tiket Ferry dan segera bersalaman dengan pengantar kami masing-masing.

Dan ternyata kapal yang akan segera berlayar telah penuh dan tidak memungkinkan kami untuk menumpang kapal itu. Kami harus menunggu ferry selanjutnya, namun jarak yang tidak terlalu lama antar kapal berikutnya membuat kami bisa segera berlayar malam itu. Setelah kapal berlabuh kami bersegera naik ke kapal, diantara bus-bus, mobil-mobil pribadi dan motor-motor yang juga bernjak masuk ke dalam kapal, dan aku dan potek mengambil posisi dibagian kapal belakan kapal mengisi bangku-bangku yang masih kosong agar lebih nyaman beristirahat bisa terlentang. Gelapnya malam membuatku tidak menikmati perjalanan lalu aku pun terlelap ditengah semilir angin laut, bagitupun kawanku Potek yang lebih nyenyak dariku. Tak luput pula iringan pengamen antar pulau yang ada dikapal semakin membuat tidur semakin lelap. Namun ditengah lelapnya tidur aku terbangun karena bau pekat yang menyengat hidungku, dan melihat disekitar dengan maksud mencari asal bau tersebut. Dan ternyata bau itu berasal dari salah satu penumpang yang sedang melakukan ritualnya dengan membakar dupa, sebagai bangsa Indonesia yang hidup dengan multi kultur maka toleransilah yang dibutuhkan untuk menyikapi hal itu, saling menghargai demi menjunjung toleransi menjalankan keyakinan, maka akupun berpindah tempat untuk menghindari bau yang tak ku sukai itu. Berkeliling kapal adalah kegiatan yang ku pilih, hingga cahaya lampu dari kota Lombok Timur mulai terlihat pertanda daratan semakin dekat hingga kapal pun berlabu di pelabuhan.

Kami segera turun dan keluar menuju tempat parkir kendaraan umum. Namun kendaraan umum sudah tidak beroperasi pada pukul 02.00 WITA, sehingga sambil mengambil keputusan untuk menyewa mobil atau menumpangi taxi yang kebetulan armada terkhir yang tersisa ketika itu kami menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok. Dengan beberapa pertimbangan maka taxi jadi pilihan kami, dan bersegera memasukan barang ke bagasi, namun yang menjadi penumpang adalah supir taxi itu sendiri karena sang supir sudah tak tahan rasa kantuk yang menyelimutinya dan Potek pun mengambil alih tugas sebagai supir. Perjalanan santai dengan orolan mengenai keadaan parwisata kota Lombok, daerah-daerah favorit para wisatawan, hingga karakteristik wisatawan mancanegara yang berkunjung menambah pengetahuanku dan sangat bermanfaat jika suatu saat aku benar-benar memutuskan untuk berkarir di Parwisata. Perjalanan santai kami tak terasa hingga kami tiba di kediaman kawanku dan kami segera beristirahat. Karena pada siang hari kami telah berencana menuju Gili yang sangat ku nanti-nantikan. Terlelap pulas sebagai balas dendam kekurangan dan ketidak nyamanan istirahat dikapal.

28.09.2009, Hari yang menjadi rencana awalku berkunjung ke Gili pun tiba. Awalnya niat untuk langsung ke Gilli ku cetuskan untuk tidak berkunjung ke Sumbawa, tapi ternyata semua sangat kondisional melihat tawaran kawanku untuk mengunjungi Gli bersama-sama, karena mereka pun yang notaben Warga NTB belum pernah menyantoni Pulau-pulau tujuan wisata yg terkenal dimancanegara itu. Kepergian kami, aku dan 3 sahabatku diawali dengan menggunakantaxi untuk menghindari durasi perjalanan yang lebih lama, dan segeralah kami tiba di pelabuhan penyeberangan, lalu segera membeli karcis jasa penyebrangan yang disediakan  koperasi . hanya menunggu sekitar 15 menit, segeralah kami menaiki kapal atau perahu yang dapat menampung sekitar 20 penumpang itu.Menurut informasi yang kami dapat, perjalanan akan ditempuh sekita20 meni. Perahu beranjak meniggalkan pantai, sekitar 10 menit pelayaran ombak- ombak dalam ketinggian 1 meter mulai membuat perahu terombang ambing dan sesekali mengagetkanSetelah itu ombak-ombak besar sekitar 2-3 meter mulai menghantam perahu, kami berempat hanya bisa saling menguatkan satu sama lainya.

Dari kami 4 hanya aku dan Prat, seorang sahabat yang mampu berenang, dengan kompetensi mahir, dua lainya tidak bisa sama sekali. Parahnya salah satu Potek masih mengalami trauma terbalik dari kano saat kami bermain kano di pantai Kencana Sumbawa.Tak hentinya takbir dan shalawat terucap dari mulutnya ketika hantaman ombak semakin kuat, menggoyahakan perahu, diiringi tangisan anak kecil, serta  kepanikan penumpang lainnya. Kakiku bergetar, aku anak yang lahir dan besar dibibir pantai karena rumahku dikampung halaman hanya berjarak sekitar 20 meter dari pantai, hanya dipisahkan dengan jalan raya, namun tetap shock dengan keadaan seperti itu. Apalagi cukup lama tidak merasakan ayunan ombak sejak naku merantau sekitar 5 tahun lamanya. Dalam keadaan yang telah basah kuyup, cemas, dan menanggung tanggung jawab untuk berbagi pertolongan jika keadaan buruk terjadi. Namun, setelah bersabar dan tetap tenang serta percaya kepada sang kapten akhirnya pelayaran pun selesai dan tiba di pelabuhan Gili Trawangan, kemudian melapor ke Pos Satpam.

Gili trawangan, memberi sambutan yang benar-benar segar untuk kami. serasa tak bukan berada di Indonesia, pakaian, dan orang-orang yang kami jumpai lebih banyak jumlah wisatawan asing dibndingkan dengan penduduk lokal. Pakaian yang mereka gunakan serba minim, apa lgi yang berjemur dipinggir pantai dan yang sedang berenang, namapak seperti ikan asin yang sedang dikeringkan oleh pemiliknya, namun kali ini dengan body aduhai, dan berwajah cantik. Segera kami mencari penginapan yang cocok untuk ukuran lokal dan tempatnya berada di pojok atau ujung Gili Trawangan. Menghabiskan waktu dengan bermain dipantai, sambil membaca buku, berenang, layaknya turis asing, namun berkulit gelap sangat menyenangkan melepaskan kepenatan kami. Sepanjang siang setelah bermain dipantai dan malam hari kami habiskan untuk menikmati alam Gili trawangan maupun menikmati hiburan yang ada disana.

Tak terasa waktu berlibur kami di gli Trawangan berakhir dan kamipun harus kembali. Masih trauma dengan perjalanan ketika menuju Gili Trawangan, membuat potek mengambil keputusan untuk menyewa speedboat dengan persentase Ia menanggung setengah harga sewa, dan sisanya tanggunan kami bertiga. Setelah sepakat kami segera menumpangi speedboat dan mulai berlayar sambil melewati Gili Air dan Gili Meno yang terletak bersebelahan dengan Gili trawangan. Awalnya sahabatku Potek hanya diam membisu, namun setelah kami pancing agar bergabung dengan kami yang sedang asik berfoto ria, akhirnya ia berkenan dan menikmati penyeberangan menggunakan speedboat. hanya dlam waktu 15 kami tiba dipelabuhan, lalu menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok. Dan kami kembali ke kediaman di daerah Cakranegara dengan menumpangi taxi.

Malam 29.09.2009, Sebenarnya hanya celetukan ku yang tak berniat. ” Gimana kalau malam ini kita ajeb-ajeb” personil dalam mobil dengan sigap menjawab okay boleh, dimana tempatnya terserah kalian aku hanya bisa ikut. sepertinya agak sedikit menyesal membuka obrolan tersebut karen hal yang tak aku sukai pun aku lakukan. Setelah melewati siang dan sore yang konsisten dengan cahaya matahari, akhirnya malam tiba untuk menuju sebuah club di Pantai Senggigi. Harus ku ungkapkan bahwa minuman dengan rasa yang paling tidak aku sukai telah masuk ke mulutku, tapi syukurlah tak sampai tertelan. Karena sambil menoleh ke kiri dan ke kanan ku semburkan minuman itu ke lantai. Malam semakin larut dan kondisi makin kondusif dengan sedikit masalah diantara rombongan kami dan segera kami kembali ke kediaman sebelum waktu yang direncanakan.

30.09.2009 Mendekati masa liburanku selesai Sahabatku menawarkan untuk satu kunjungan lagi yaitu Taman Nermada yang merupakan Istana Raja Lombok beragama Budha, dengan bangunan khas layaknya yang ada di Bali. Ku sempatkan berkeliling bagian demi bagian yang mungkin bisa disebut sebagai Pura, skaligus membeli oleh-oleh untuk Kerabatku di Bandung. Tak Luput pula kami sempatkan untuk menikmati buah durian Lombok, yang lebih murah jika dibandungkan dengan membeli di Bandung. Dan makan bersama untuk terakhir kalinya menikmati gurame yang kami beli dalam perjalanan pulang ke kostan.

01.10.2009, Tepat seminggu sudah aku menambah liburanku, namun tak berniat untuk menggenapkan menjadi 2 minggu. Hari ini kami berkeliling dari pool ke pool bus untuk mencari tiket murah namun nampaknya masih suasana liburan dengan harga khasnya. alternatif dengan tetap menggunakan trik seperti ketika aku berangkat ke Mataram, mencari tiket murah diterminal, jalan pintas nego calo. Maklum namanya juga Indonesia, everything is OK..!!!!! Setelah sepakat, aku dan sahabatku kembali untuk mengambil ranselku menuju tempat perjanjian bersama sang calo. Selepas Maghrib bus yang aku tumpangi meninggalkan Tanah Mataram menuju Surabaya. Durasi perjalan yang ku tempuh masih tetap seperti ketika berangkat.

Tak terasa melewati siang dan malam berakhir sudah, ku teggakkan badan ketika bus memasuki teminal Bungur Asih Surabaya. Dengan penuh waspada aku turud dari bus dan keluar dari area terminal, namun tiba-tiba ada seorang pemuda yang menepuk pundakku dan sempat ku sangka penghipnotis. “Mas mau ke Bandung ya..?” tanya orang yang menepuk pundakku tadi. Orang ini yang sempat berbincang sedikit dengan ku dan sempat ku tawarkan untuk bareng menggunakan kerta api, namun dia tak menggubris. Namun dia menjilat ludah, dengan berkata: ” bareng aja pake kerta, saya juga ke Bandung dulu baru lanjut ke Karawang”. Tak tega jika ingin ditinggalikan. Hari menjelang malam segera aku dan Ade rekan perjalanan dari Surabaya - Bandung. Setibanya di Stasion Wonokromo ternyata kereta menuju Bandung telah berangkat, dan ada lagi besok pagi. Enough, pasrah aja kan kali keduanya nginap distasion yang sama. Sambil berbagi cerita, pengalaman dan beberapa batang rokok aku dan Ade bergantian istrahat melepas lalah, aku tidur terlebih dahulu, berikutnya si Ade. Hingga Adzan shubuh pun menggema kami bergatian melakukan sholat.

02.10.2009, Kereta tiba seperti biasa rubber schedule,kami berdua segera memasang jurus sheat hunter lari, loncat menuju gerbong untuk mendapatkan tempat duduk. Akhirnya restorasi, bagian di kereta yang dijadikan restoran mendadak. Aku lupa mampir ke ATM sehingga hanya ada Rp20.000,00 sebagai pegangan terakhir.
Tapi disitulah gunanya travelmate, kita saling berbagi. Dua bungkus terakhir persiapan Ade dikonsumsi bersama. Namun ku anggap semacam penipuan, kereta restorasi dijadikan kereta penumpang tanpa ada tulisan “restourasi” yang berhak duduk harus membeli makanan seharga minimal Rp10.000,00 bukannya tak mampu dan tak sanggup, namun melihat orang-orang yang harus kembali berdiri adalah nenek & kakek jompo. Sontak saja seorang bapak berperawakan militer menegur sang petugas dan nyari menghadiahi jotosa, namun hal itu bisa diredam oleh penumpang lainnya dan terjadi negosiasi serta penjelasan dari pimpinan sang petuga. Perjalanan berlanjut dengan sisa Rp 9.000,00 ditangan, akhirnya akupu tiba di Stasion Kiaracondong dengan selamat. Aku menuju ATM dan makan malam sambil menunggu jemputan dari kawanku. THE END. See You All again at NTB.


Indonesia.Travel - http://goo.gl/pTZiA0

No comments:

Post a Comment