Pacitan Berangkaaatttt....
This is the day, the last day I was in Jogja. Destinasi perjalanan yang telah Saya tentukan setelah batal menggapai Pulau Kalimantan, maka kampung halaman Bapak Presiden SBY Pacitan yang menjadi tujuan Saya kali ini, Kenapa? Simple saja karena tayangan di tv menayangkan Indahnya pantai-pantai di Pacitan dan banyak terdapat gua disana. Saya juga termasuk orang yang fleksible dalam menentukan destinasi atau easy going lah. Yap, langsung saja road to Pacitan. Setelah check and recheck packingan, Isnin mengantarkan saya menuju stasiun Tugu. Sambil menunggu lantunan lagu Iwan Fals "kereta tiba pukul berapa" menjadi soundtrack. Sambil menunggu kami membahas cerita Love Story in Harvard" sambil ngakak-ngakakan geli. Kereta tiba pukul berapa? kereta tiba pukul 10.35, langsung saja Saya bergegas, mengucapkan terima aksih, berpamitan pada Isnin, tak lupa pula Saya mengucapkan selamat mencari Lee Soo In-nya. Hehe. Goodbye nin and Jogja.
Tepat pukul 10.35 Kereta PramEx (Prambanan Express) tiba di kota Solo. Kali kedua Saya menginjakkan kaki di Kota Raja Paku Alam, sebelumnya pada tahun 2005 silam. Ingatan tahun 2005 dan imaginasi dari google maps menjadi modal Saya mencari Terminal kota Solo dengan mengambil arah lurus, lalu belok kiri, kemudian lurus dan mengambil arah kiri lagi. Tibalah saya di Terminal Bus kota Solo, sebelum masuk Saya membersiapkan amunisi dulu, sebungkus rokok dan minuman dingin sekalian bertanya pada pedagang mengenai transport menuju Pacitan. Tanpa membuang waktu namun lebih mengejar waktu untuk tiba sebelum malam di Pacitan, Tak lama setelah Saya berada di dalam Terminal segera saja Saya menuju bus yang bertuliskan Solo-Pacitan dan memulai obrolan dengan kondektur bus lain yang baru saja tiba. Bus pun segera meluncur tak lama setelah Saya berada di dalamnya, perlahan melewati kemacetan kota solo, hingga pinggiran dan batas kota Solo. Dari informasi yang Saya peroleh perjalanan Solo-Pacitan memakan waktu kurang lebih 2,5 jam.
Saya sangat menikmati perjalan saya kali ini, walau sesekali mata terpejam dengan iringan lagu-lagu reggae dalam mp3 player. Jalan-jalan suasana khas perkampungan jawa yang sering terlihat dalam sinetron-sinetron FTV menyajikan ketenangan, rawa, laut, empang bahkan hamparan sawah yang telah menguning membentang seakan tak berujung sejauh mata memandang. Disini membuat saya bertanya-tanya, mengapa perlu Negaraku ini mengimpor beras dari negara lain, mungkin mereka unggul hanya dalam tekhnologi, tapi jam terbang tatap berpengaruh. Bangsa kita telah beratus-ratus tahun menanam padi, peneliti-peneliti kita juga tidak kalah pandai dalam menghasilkan produk pertanian. Teknologi tradisional yang jauh lebih organik dari pupuk import karya kapitalisme. Negara kita negara agraris, bukan negara industri. Industripun sudah konvensional, yang unggul adalah informatif. So, stop disturbing rice field and plantation.Sedikit renunganlah, untuk pelampiasan emosi patriotisme saya. Tak terasa waktu menunjukan pikul 15.00, bau khas dataran rendah atau tepatnya bau kawasan pantai yang agak anyir mulai tercium, apa lagi dipadukan dengan tebing-tebing bermateri kapur. Jalan yang dilalui mulai menanjak dan menurun, perlahan memasuki kawasan pemukiman dan gerbang selamat datang di Kota Pacitan "Kota 1001 Gua".
Tepat pukul 15.30 Saya telah berada di terminal Bus Pacitan. Menghindari serbuan para tukang becak, saya menuju sebuah Minimarket di depan terminal, sembari membeli roti untuk mengganjal perut yang mulai kukurubukan. Setelah menyesuaikan posisi dan peta hasil googling akhirnya saya putuskan untuk berjalan kaki menuju sebuah penginapan "Penginapan Minang" yang terletak di depan Dealer Motor Suzuki sekitar 20M ke arah kanan. Penginapan menyediakan kamar ber budget Rp.180.000, Rp.75.0000, Rp.50.000. Untuk menjaga keamanan budget perjalanan saya memilih kamar berbuget Rp.50.000 toh cukup nyaman. Segera saya rebahkan badan dan terlelap hingga malam hari.
Terjaga sekitar pukul 20.00 karena lapar. Tapi beratanya mata dan badan yang masih berat untuk diangkat membuat saya sedikit mendelay makan malam. Pacitan adalah daerah perbatasan dengan Yogyakarta, yang secara teritorialnya lebih dekat dengan Yogyakarta dibandingkan dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Timur sendiri. Jadi nasi kucing menjadi hal yang tidak aneh apalagi saya adalah pengunjung rutin Yogyakarta. Berjalan beberapa meter, tepat didepan dealer motor Yamaha adalah tempat mangkal penjual nasi kucing. Segera saja dua bungkus ssaya lahap dengan tambahan beberapa gorengan dan ditutup dengan wedang jahe untuk menyegarkan badan. Tak lama kemudian saya menuju ke sebuah warnet yang berseberangan dengan delear motor untuk sekedar charging Mp3 player full of reggae music, yang jadi perlengkapan saya dalam perjalanan kali ini. Lalu saya kembali ke penginapan dan kembali melanjutkan tidur malam itu sebelum menjelajah esok hari.
Hijaunya sawah di Kampung Pak Pres |
Monument di Pinggir Pantai |
Pagi hari saat matahari mulai beranjak dari peraduanya, saya segera meluncur sekedar mencari sarapan disekitar penginapan lalu saya melanjutkan la balade hingga sejauh 2 km menuju pantai terdekat dari tempat saya menginap dan tempat yang saya tuju adalah Pantai Taleng Ria, pantainya putih bersih, masih alami, juga sepi pengunjung sehingga kebersihannya juga terjaga, terlihat hanya sampah dedaunan yang ada dipinggir pantai. Selain pantai wisata, pantai ini juga digunakan sebagai tempat pelabuhan perahu-perahu tradisional para nelayan disekitar pantai Taleng Ria. Fasilitas yang ada di pantai ini bisa dibilang memadai sebagai obyek wisata. Dari gerbang yang seperti masuk wahana wisata modern dengan gambar-gambar yang menarik, drainase, pedestarian, penerangan jalan, lifeguard, information center, warung/rumah makan, cafe, de el el. Hanya saja kurang promosi saja sehingga hanya moment-moment tertentu saja akan ramai kunjungan wisatawan lokal atau wisudawan mancanegara.
Beach Line |
Aliran Sungai kecil |
Produk Ciamis? |
Sea Background |
Dari pagi hingga siang ga keras menghabiskan waktu dipinggir pantai dan waktunya mencari makan siang, tempat yang saya tuju adalah warung yang tak jauh dari gerbang pantai. Ada warung makan yang menjual gado-gado milik Pak Win, pensiunan TNI yang lama bertugas di Cirebon. Setelah makan, obrolan saya dan Pak Win mulai terbuka dengan bertanya dari mana asal saya, hingga berbagi pengalamannya selama bertugas, suasana pacitan, bahkan Ia sempat menawarkan penginapan yang cukup murah dan fasilitas yang sangat baik dan yang spesial dari Pak Win adalah tawaran untuk mengambil makanan dari rumahnya yang terletak di bagaian belakang penginapan tersebut. "Nak, nanti kalau mau makan datang saja ke rumah saya. terserah mau makan di rumah atau mau di bawa ke penginapan juga mboleh, ga usah sungkan-sungkan ga usah mbayar tapi ala kadarnya saja". Wooww, ini yang indah dari traveling, tak perlu mahal, tak perlu yang seperti terlihat kaya orang dari benua biru tapi sosialisasinya sodara-sodara. What awesome of my country.
Peralatan Perang |
Second Hostel |
Sore harinya saya pindah ke penginapan milik saudara Pak Win, saya lupa nama penginapan itu. Segera saya angkut lagi backpack yang berisi peralatan tempur. Segera saja saya letakan didalam kamar dan lanjut lagi ke pantai. Kali ini benar-benar explore, sepanjang garis pantai yang dikelola oleh Pantai Teleng Ria. Lautnya yang sedikit keruh karena ombak dan angin menuju pasang, lalu saya menuju aliran sungai yang menjulur ke pantai dengan arus yang ga deras, ditambah batu-batu disekelilingnya yang indah. Di sisi kanan itu pula para nelayan tradisional memarkir perahu-perahu mereka. Di dalam area itu pula ada pasar ikan, jadi untuk yang ingin bakar-bakar rumah, eh maksudnya bakar ikan bisa pesen aja ke nelayan. Puaslah saya seharian disana, dengan modal IRD 3500 untuk tiket yang saya beli pagi hari. Sempat berteduh saat turun hujan, akhirnya ketika hari itu benar-benar gelap saya baru beranjak. Awalnya, saya ingin menikmati pantai yang Sepi itu hingga larut malam namun teringat oleh misteri pantai selatan jadi Jiperrr juga saya. Hehe :)
Dibawah Lembayung Senja |
Sun set |
Menjelang Senja |
Setelah makan malam dan kembali lagi melakukan la balade, saya segera kembali ke kamar penginapan sambil mempersiapkan barang bawaan dan menonton siaran TV. Keesokan harinya saya tak menyangka adalah hari terakhir juga. Pagi yang cerah itu segera saya mencari sarapan diwarung Pak Win, namun tampaknya belum buka maka saya berpindah ke kewarung yang tak jauh dari warung Pak Win. Segelas kopi hitam dan beberapa kue jadi sarapan saya kali ini, bersama saya juga ada seorang polisi yang juga sedang ngopi, mungkin semalam melakukan piket malam. Saya memulai menyapa polisi itu, "Seger ya pak ngopi pagi-pagi gini", "wah iya dik, seneng ngopi juga ya?" tanya polisi itu. "Iya pak, malah bisa dibilang sedikit kecanduan" jawab saya. Obrolan kami mulai mengalir kesan-kemari dengan bahasan yang cukup luas. Namun tak lama kemudian dengan polosnya si Pak Polisi kembali bertanya kepada saya "kenapa ya mahasiswa sering demo, apalagi sampai ada polisi yang jadi korban, waduh gimana itu?" Yah dengan bijak saya menjawab, penuh retorika yang singkatnya saya juga mengatakan banyak juga mahasiswa yang jadi korban. Saya akui, memang ada juga kelompok-kelompok tertentu yang ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu, namun juga ada yang murni memperjuangkan keadilan, darah muda mereka yang menggebu-gebu kata Bang Haji membuat mereka ngotot bertindak. Jadi, jika sama-sama dewasa, apalagi polisi lebih dewasa mungkin tua juga bertindaklah persuasif, jawab saya sedikit bberpihak pada mahasiswa karena saya masih mahasiswa saat itu :) . Tak lupa pula saya selipkan pertanyaan mengenai akses menuju Goa Gong.
Juste un petit dejeuner |
Setelah selesai ngopi, saya menuju kantor Pariwisata yang berada tepat di depan warung. Segera saya disambut oleh front office dengan ramah. Mulailah saya bertanya-tanya mengenai posisi objek wisata dipacitan dan akses menuju ke sana, dan informasi yang saya dapat ternyata ga ada akses bus atau transport publik yang langsung menuju ke sana, paling gampang rental mobil atau motor, nah klo motor juga ga bisa bawa sendiri harus sama guide (pemiliknya) = ojeg. Dan biayanya woow, kalah harga rental mobil di kota besar, dan rental motor+guide sama dengan harga rental mobil setengah hari rental mobil. Wah unpredictable, make putuskan untuk pergi ke Gowa Gong yang aksesnya masih lebih mudah dijangkau walaupun ada batasan waktu untuk transportasi. Saya kembali ke penginapan untuk beberes 'packing', bebersih 'mandi' dan siap berangkat lagi.
Tepat pukul 09.00 saya sudah berada di sekitar tempat saya sebelumnya untuk menunggu Bus yang akan menuju Solo, lalu saya turun di daerah pasar Punung dan lanjut menggunakan angkutan pedesaan ke goa Gong. Saya menunggu bersama seorang Kakek/Nenek dan Cucunya, lamanya kami menunggu membuat kami berbincang-bincang hingga informasi ke Gowa Gong saya dapatkan bahkan kami ternyata searah, namun Saya harus turun duluan untuk menuju Goa Gong. Pukul 11.30 akhirnya bus yang akan kami tumpangi tiba, kami naik dan bus meluncur dengan pelan sambil mencari penumpang. Perjalanan menuju pasar Punung sekitar 15 menit, lalu kami melanjutkan menggunakan angkutan pedesaan yang berupa mobil koldolak "pick up" dan ditutupi terpal pada bagian atasnya. Waktu tempuh sekitar 10 menit, karena terlalu asik berbincang-bincang gerbang menuju Goa Gong sedikit terlewati dan saya pun segera turun dan pamit kepada para penumpang lainnya. Sekitar pukul 12.00 saya tiba di Goa Gong.
Setelah membeli tiket masuk, saya langsung masuk menuju Goa yang disambut oleh ibu-ibu yang menawarkan jasa sewa senter. Saya tak menyewa karena saya sudah membawa senter outdoor, petualanga saya pun dimulai. Semua sudut saya abadikan, namun agak susah untuk narsis. Ga ada posisi yang bagus untuk meletakkan kamera, lalu sangat riskan dengan keadaan yang licin dan lembab. terpaksa pose narsis agak sedikit maksa, untuk ada saja orang yang miminta tolong saya untuk mengambil foto dan saya bisa pula meminta pertolongan mereka untuk mengambil gambar. Keadaan Goa yang pengap dan lembab (ya iyalah namanya juga goa) membuat saya hanya bisa bertahan sekitar 1/2 jam di dalam sambil membawa bakcpack. Saya segera keluar menuju pasar aksesoris untuk membeli gelang atau kalung untuk oleh-oleh. Dan saya juga baru teringat dengan info dari Kakek/Nenek, kalau transport di daerah Goa Gong cuma ada bersamaan dengan jam sekolah. Karena mayoritas pengguna transportasi adalah anak sekolah, dan angkutan yang terakhir adalah yang saya tumpangi ketika datang. Damm..
Saya keluar menuju jalan utama, sambil menikmati segarnya udara desa yang masih ditutupi oleh hutan lebat itu, sebatang rokok dan air mineral. 30 menit sudah saya menunggu, benar tak ada angkutan pedesaan yang muncul, hanya ada suara-suara motor yang ga juga melewati jalan dimana saya berada, untuk mencicil jarak menuju pasar Punung saya berjalan santai. Tak lama kemudian saya mendengar suara truk yang sedang melaju, saya berhenti berjalan, sedikit menyisa dan mengambil posisi menyetop truk tersebut. Ketika truk tersebut melintas saya mengangkat tangan memberhentikan truk itu, kalau mengangkat jempol mungkin akan dibales juga dengan jempol tanda 'OK' dari sang supir karena Hitchhike belum menjadi budaya di Negeri kita. Truk tersebut berhenti, "Pak numpang ke arah pasar Punung?" Kata saya. "Wah, saya ga ke sana, tapi sampean bisa naik bus dari tempat lain yang saya lewati" jawab Pak Supir. "Oke, Pak, ga apa-apa". Saya segera naik dan kami pun meluncur.
Indonesia.Travel - http://goo.gl/pTZiA0
haha.. gk nyangka bisa ingat smua alur kejadianya. ditunggu lanjutanya :)
ReplyDeleteOk, hasil dari flash back berhari-hari ini. Hari ini Isyallah selesai bro.
ReplyDelete