Pulau Togean, udah lama banget tau namanya, bahkan sebelum sama skali tau bentuk pulaunya di peta atau globe, saya udah tau banget dengan nama pulau ini. Awalnya jaman dulu waktu saya masih SD denger-denger dari tetangga yang biasa jadi guide wisman ke Pulau Togean. Saat itu lagi puncak jaya-jayanya industri wisata disono, maklum setelah peristiwa kerusuhan Poso, kondisi pariwisata Togean terjun bebas, jatuh bangun untuk bangkit lagi, bahkan sekarang masih terus mencoba bangkit.
Untuk orang Poso dan sekitar yang belum pernah mampir ke sana, ada anggapan klo wakai dan togean itu satu pulau. Padahal yah, Wakai pulau lain Togean juga pulau sendiri. Mungkin juga karena nama teritoral "Taman Nasional Laut Kepulauan Togean" yang bikin orang otomatis nyangka togean = wakai = kadidiri = katupat = pangempa = malenge = bomba = walea, dll. Padahal Kepulauan Togean terdiri dari sekitar 60 pulau-pulau dan pulau-pulau besarnya: Pulau Batudaka, Pulau Togean, Pulau Talatakoh, Pulau Waleakodi dan Waleabahi. Sejak tahun 2006 setelah terjadi pemekaran kabupaten baru, wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Togean berada pada teritorial Kabupaten Tojo Unauna dengan Ibu Kota Ampana.
Sudah lama banget sejak merantau ke tanah Jawa, pengen banget ke tempat ini, tapi mungkin belum waktunya aja kali. Tapi anehnya dari mulut saya udah beberapa orang nyambangin Pulau Togean, padahal tau bentuknya juga belum. hehehe. Setelah mutusin mudik ke tanah tumpah darahku, stay alive di Poso akhirnya ajakan ke 3 kali sobat bisa bikin saya berangkat ke sana. Tepatnya bulan Oktober 2014, saya kedatangan teman dari Couchsurfing, yang biasanya mampir transit di Poso setelah nyusurin Tana Toraja, lalu lanjutin perjalanan ke utara melalui Togean. Mikael Dogru, kawan yang kelak adalah sahabat, guru, mentor traveling & bisnis, bahkan Mika manggil saya 'my twin' atau 'mon jumel' dalam bahasa Prancis.
Bukan perkara, mau tidak mau, percaya tidak percaya, tapi feeling traveler dan koneksi dengan semesta membawa kami sebagai travelmate pada awalnya. Rencananya Mika hanya akan stay 1 malam di tempat saya, lalu lanjut hickhike menuju Ampana besok harinya. Namun, tak cukup istrahat semalam, Mika malah minta izin untuk tinggal beberapa hari, setelah menikmati suasana bersama keluarga saya. Menikmati bergelas-gelas kopi dengan tema obrolan spiritual, travel, spirit of sharing, bahasa, sejarah, bisnis dan kehidupan, akhirnya membawa saya bisa berada di Togean bersama Mika.
Mika adalah traveler yang luar biasa, dia mulai perjalanan hickhike (nebeng) 2 tahun yang lalu, dari kota Marseille, Prancis sampe Vanuatu, Oceania. Saya banyak belajar dari pengalamannya melintasi jalur darat dan laut, melewati daerah-daerah konflik di Eropa dan Asia, pokoknya juara deh. Belum lagi kemampuan negosiasinya yang ga kalah, mantan mentornya sales-sales di Prancis ini jempolan. Makanya klo untuk dapat yang terbaik dengan murah bahkan gratis gampang-gampang aja untuk doa, Merci mon Dieu on a fait se connaitre.
Okeh, setelah siap kami berdua langsung cuss menuju Ampana dengan motor ane. sebelumnya mampir dulu ke toko elektronik ngambil duit sama ngopi. Skitar pukul 2 siang baru ninggalin kota Poso nyusurin jalur trans-Sulawesi. Speed riding agak diawah rata-rata kali ini, maklum agak kaku yang dibonceng lebih menjulang jadi kaya giman gitu belakang lebih berat, jadi safety ride aja soalnya tracknya variatif sekali maksudnya ada jalan bagus, ada jalan rusak dan super rusaknya. Selain itu saya juga ngasi kesempatan Mika untuk menikmati hamparan bumi tropis di zona Walacea. Tiap sejam saya nanya doi, klo mo istirahat dulu sebatang, dua batang tanpa kopi baru lanjut lagi biasanya ane nonstop sih klo Ampana-Poso. Klo ga salah cuma dua kali doang istrahat regangin bodi sama makan di Padapu dan lanjut lagi nyusurin jalan kayak ular sampe di gapura selamat datang di kota Ampana sekitar jam 8 malam. Terbilang lambreta waktu tempuh segitu, yah enjoy the the show aja, yang penting nyampe dengan selamat. Sampe di Ampana, ngopi bentar skalian ketemu teman sebelum ke rumah sodara. Numpang semalam aja ;-)
Pengen beda aja dari yang biasa dalam pemilihan jalur ke Togean kali ini. Biasanya klo traveler-traveler minta diaturin rute, yah saya ngasi jalur: Toraja - Poso - Ampana - Wakai - Kep. Togean (Kadidiri, Pangempa, Bolilanga, Malenge, dst). Tapi kali ini Saya coba ngimprove ngajak Mika memulai dari Pulau Enam, pulau batu di sebelah selatan pulau Togean (ingat pualau bukan kepulauan) tetanggaan sama Desa Lebiti di barat pulau Togean. Jalur transportasi laut yang dibilang 'bodi' memiliki rute Ampana - Lebiti - Pulau Enam - Kabalutan. Pagi itu saya ngater Miki dulu lalu saya dianter sama sepupu ke tempat Mika nunggu, doi sempat sarapan sama ngopi, ane cuma ngopi doang. Beli tiket gocapan dulu, setelah muatan selesai loading, penumpang naik lalu bodi meluncur menuju 'pulo nnang' klo kata orang bajo dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam.
Cuaca yang cerah bikin semua penumpang ngumpet, termasuk Mika. Padahal orang benua biru biasanya demen panas-panasan. Kehadiran Mika di bodi pulau Enam menarik perhatian penumpang lain, ga biasa mungkin juga baru pertama kali ada WNA yang langsung ke pulau Enam dari Ampana. Ga seperti jalur Ampana - Bomba atau seperti di kapal motor Togean atau Puspita. Dalam perjalan kami hanya ngobrol dengan penumpang lainya atau saya nerjemahin apa yang mereka obrolin selain tidur. Maklum perjalanan ini nguras ion tubuh ditambah kami ga bekal nasi bungkus seperti penumpang lain. Barang-barang yang diangkut di bodi macam-macam, dari kebutuhan sehari-hari seperti sembako, BBM, barang dagangan, bahan bangunan hingga sapi. Ya sapi juga ikut naik bodi dengan manusia, itu baru kami sadari saat bodi sandar didermaga Lebiti dan tiba-tiba penumpang disuruh turuh biar ga ngalangin sapi yang mau keluar :))
Finally kapal sandar di dermaga Pulau Enam yang terkenal dengan durian klo lagi musim juga tetanggaan sama Desa Lebiti, penumpang ngantri turun sambil loading logistik dibantu ABK. Pulau Enam adalah perkampungan di bibir bukit batu yang kering, penghuninya adalah suku bajo yang sehari-hari kerja sebagai nelayan atau berkebun di desa tetangga Lebiti. Dari sini pula kakek saya berasal dan masih ada keluarga yang belum pernah saya kenal dan saya temui, lalu dengan modal daftar nama-nama dari keluarga di Ampana saya coba melacak mereka. Desa ini tidak mungkin tidak termasuk terbelakang kalo di lihat dari fisik banguna, ada sekolah SD, untuk tingkat SMP dan SMA anak-anak desa ini lanjut ke desa Lebiti atau Wakai. Dipulau Enam ada bangunan MTs tapi tidak difungsikan.
Saya dan Mika menginap di rumah Om Bidu yang sayang skali kami tidak bertemu karena sedang berada di Ampana. Hanya 3 orang anaknya menyambut kami siang itu. Saya sempatkan juga ketemu nenek, adik Alm. Kakek saya, bercengkrama dan kenalan dengan keluarga-keluarga lainnya sampai menjelang sore. Setelah itu saya pulang dan Mika keliling kampung bermain dengan anak-anak Pulau Enam di lapangan dan berenang bersama mereka. Dari belakang rumah saya coba mengabadikan aktifitas mereka penuh keceriaan meski komunikasi hanya melalui gestur.
Hari kedua kami di Pulau enam, kami diajak ikut mancing dengan nelayan tradisional. Saya, Mika dan dua pemilik perahu, beranjak meninggalkan pulau bergabung dengan kumpulan nelayan yang bergerak kesana kemari ngikuti gerakan ikan yang kasat mata. Mereka mancing sambil jalanin mesin ketinting mengejar kemana arah gerak ikan yang mereka lihat dari kondisi permukaan air, Saktiiii!! Mika terkagum-kagum dengan teknik mancing tradisional yang mengandalin feeling saling papasan perahu satu dengan perahu lain tapi tidak ada tali pancing yang ngait satu sama lain. Sayang sekali ga banyak hasil tangkapan kami kali ini, tapi senggaknya sempat ikut nelayan mancing.
Malam hari terhir di Pulau Enam kami habisin dengan keliling kampung, mampir ke rumah-rumah warga yang sedang duduk-duduk santai didepan rumah. Maklum listrik di pulau ini hanya sampai jam 9 malam saja, jadi sebelum gelap sekampung mending silaturahmi sambil pamitan. Besok paginya, kami lanjutkan perjalanan menuju Wakai. Mika terkesan dengan kehidupan masyarakat Pulau Enam yang sederhana, senyum sapa mereka yang mencerminkan kebahagiaan, kepolosan anak-anak yang belum tersentuh modernitas, konsumerism, ketulusan masyarakat menjalani hidup apa adanya, jujur, humanis yang sudah di temukan di belaham bumi yang matrialistis saat ini. 'merci mon frere, tu m'as pris visiter ce village' ujar Mika artinya "makasi saudaraku sudah mengajak saya ke dasa ini".
Okeh, setelah siap kami berdua langsung cuss menuju Ampana dengan motor ane. sebelumnya mampir dulu ke toko elektronik ngambil duit sama ngopi. Skitar pukul 2 siang baru ninggalin kota Poso nyusurin jalur trans-Sulawesi. Speed riding agak diawah rata-rata kali ini, maklum agak kaku yang dibonceng lebih menjulang jadi kaya giman gitu belakang lebih berat, jadi safety ride aja soalnya tracknya variatif sekali maksudnya ada jalan bagus, ada jalan rusak dan super rusaknya. Selain itu saya juga ngasi kesempatan Mika untuk menikmati hamparan bumi tropis di zona Walacea. Tiap sejam saya nanya doi, klo mo istirahat dulu sebatang, dua batang tanpa kopi baru lanjut lagi biasanya ane nonstop sih klo Ampana-Poso. Klo ga salah cuma dua kali doang istrahat regangin bodi sama makan di Padapu dan lanjut lagi nyusurin jalan kayak ular sampe di gapura selamat datang di kota Ampana sekitar jam 8 malam. Terbilang lambreta waktu tempuh segitu, yah enjoy the the show aja, yang penting nyampe dengan selamat. Sampe di Ampana, ngopi bentar skalian ketemu teman sebelum ke rumah sodara. Numpang semalam aja ;-)
Cuaca yang cerah bikin semua penumpang ngumpet, termasuk Mika. Padahal orang benua biru biasanya demen panas-panasan. Kehadiran Mika di bodi pulau Enam menarik perhatian penumpang lain, ga biasa mungkin juga baru pertama kali ada WNA yang langsung ke pulau Enam dari Ampana. Ga seperti jalur Ampana - Bomba atau seperti di kapal motor Togean atau Puspita. Dalam perjalan kami hanya ngobrol dengan penumpang lainya atau saya nerjemahin apa yang mereka obrolin selain tidur. Maklum perjalanan ini nguras ion tubuh ditambah kami ga bekal nasi bungkus seperti penumpang lain. Barang-barang yang diangkut di bodi macam-macam, dari kebutuhan sehari-hari seperti sembako, BBM, barang dagangan, bahan bangunan hingga sapi. Ya sapi juga ikut naik bodi dengan manusia, itu baru kami sadari saat bodi sandar didermaga Lebiti dan tiba-tiba penumpang disuruh turuh biar ga ngalangin sapi yang mau keluar :))
Finally kapal sandar di dermaga Pulau Enam yang terkenal dengan durian klo lagi musim juga tetanggaan sama Desa Lebiti, penumpang ngantri turun sambil loading logistik dibantu ABK. Pulau Enam adalah perkampungan di bibir bukit batu yang kering, penghuninya adalah suku bajo yang sehari-hari kerja sebagai nelayan atau berkebun di desa tetangga Lebiti. Dari sini pula kakek saya berasal dan masih ada keluarga yang belum pernah saya kenal dan saya temui, lalu dengan modal daftar nama-nama dari keluarga di Ampana saya coba melacak mereka. Desa ini tidak mungkin tidak termasuk terbelakang kalo di lihat dari fisik banguna, ada sekolah SD, untuk tingkat SMP dan SMA anak-anak desa ini lanjut ke desa Lebiti atau Wakai. Dipulau Enam ada bangunan MTs tapi tidak difungsikan.
Saya dan Mika menginap di rumah Om Bidu yang sayang skali kami tidak bertemu karena sedang berada di Ampana. Hanya 3 orang anaknya menyambut kami siang itu. Saya sempatkan juga ketemu nenek, adik Alm. Kakek saya, bercengkrama dan kenalan dengan keluarga-keluarga lainnya sampai menjelang sore. Setelah itu saya pulang dan Mika keliling kampung bermain dengan anak-anak Pulau Enam di lapangan dan berenang bersama mereka. Dari belakang rumah saya coba mengabadikan aktifitas mereka penuh keceriaan meski komunikasi hanya melalui gestur.
Malam hari terhir di Pulau Enam kami habisin dengan keliling kampung, mampir ke rumah-rumah warga yang sedang duduk-duduk santai didepan rumah. Maklum listrik di pulau ini hanya sampai jam 9 malam saja, jadi sebelum gelap sekampung mending silaturahmi sambil pamitan. Besok paginya, kami lanjutkan perjalanan menuju Wakai. Mika terkesan dengan kehidupan masyarakat Pulau Enam yang sederhana, senyum sapa mereka yang mencerminkan kebahagiaan, kepolosan anak-anak yang belum tersentuh modernitas, konsumerism, ketulusan masyarakat menjalani hidup apa adanya, jujur, humanis yang sudah di temukan di belaham bumi yang matrialistis saat ini. 'merci mon frere, tu m'as pris visiter ce village' ujar Mika artinya "makasi saudaraku sudah mengajak saya ke dasa ini".
No comments:
Post a Comment