Tak terasa tiga hari, dua hari, satu hari waktu terus berjalan "count down" hari H dari sejarah perjalan bangsa ini akan tiba. 17 Agustus 1945, begitu penggalan dari lagu nasional yang sering saya nyanyikan di depan sekolah dulu. Momentum tahunan yang tak luput dari seremonial dan menjadi tolak ukur pencapaian bangsa, ingat bangsa, bukan institusi atau pun tetekbengek birokrasi. Jika pejabat yang baru dilantik akan ditanya oleh pers tetang 100 hari kerja, ketika dikritisi tentang belum adanya capaian dalam 100 hari, dan apalah segala macam tolak ukur instan bangsa ini.
Saya ingat ketika kecil dulu setiap tanggal 17 Agustus mbah Soeharto akan menyampaikan pidato kenegaraan, yang dinanti-nantikan oleh semua kalangan masyarakat. Apalagi kalangan pegawai negeri maupun BUMN apakah akan ada pengumuman kenaikan gaji dan tunjangan. Lalu akan banyak sekali event "hiburan" untuk merayakan peringatan "Independent day" kalau kata orang barat, dari lomba makan kerupuk, lombak balap karung, lomba balap kelereng, hingga lomba yang harus mengorbankan orang lain untuk diinjak-injak, ditimpa dan ditarik lomba panjat pinang. Mungkin dulu hidup di zaman orba yang otoriter membuat masyarakat membutuhkan banyak hiburan, yang berarti wasting time, ketawa-ketiwi dan leh ha-leha. Dan sebagian besar pesertanya adalah anak-anak generasi bangsa, yang seharusnya diarahkan menuju prestasi baik melalui kreatfitas, olah raga, maupun aktifitas lain yang berkonteks kompetisi. Tidak lain dan tidak bukan untuk menstimulus jiwa kompetisi dan penemu bukan sekedar peniru, pembajak, atau spesialis modifikator produk orang.
Setelah kilas balik masa lalu, sekedar membagi informasi perjalan saya dua bulan kebelakang, sebagai bahan refleksi HUT Kemerdekaan Indonesia yang ke 68. Saya bersama tujuh orang rekan lainnya mendapat tugas dan melakukan perjalanan lintas pulau Flores. Perjalan yang kami lakukan kurang lebih 10.000 km memberikan kami pengalaman yang berharga, keberagaman budaya, silaturahmi antar budaya, pemahaman kebudayaan sebagai bentuk rasa syukur terbesar kami sebagai anak bangsa. Melewati jalan raya antar provinsi dipulau lain, melewati jalan kabupaten yang jauh dari ibu kota negara, menembus jalan kecamatan yang menantang, hingga jalan desa yang penuh resiko. Memasuki pelosok-pelosok desa yang sedang dilanda konflik suku saling memotong kepala, harga bbm yang dua kali lipar dari harga normal dan masyarakat berparas seram namun sangat-sangat ramah, polos dan unik.
Saya lupa persis nama desanya dan letak geografisnya di kabupaten Manggarai Barat daerah dataran tinggi penghasil kopi khas Flores. Perjalanan kami, ketika itu tidak bisa diprediksi berapa kilometer dan berapa jam yang akan kami tempuh, yang kami lakukan adalah menghitung gunung, deretan pegunungan yang berlapis berjajar keatas dan kesamping saja yang kami hitung, kondisi fisik jalan desa itu terkadang tertutup kabut hingga jarak pandang 5 meter saja, jalan berlubang ditemui dalam hitungan menit, menyisi jika berpapasan dengan truk yang digunakan sebagai alat transportasi, hingga aliran sungai yang memotong jalan. Pemandangan yang disajikan berupa hutan-hutan pinus, burung elang yang terbang bebas dedekat kami dan monyet yang nongkrong dicabang pepohonan adalah obat kepenatan dan kelelahan dijalan, hingga kami menembus desa tersebut dan tepat depan kantor desa yang tertutup kami berhenti. Tak terlihat masyarakat desa yang beraktifitas, lalu saya mencoba menyebrang menuju rumah yang berada tepat didepan kantor desa.
Elang hidup tentram |
Disambut oleh segerombolan anjing menggonggong membuat sang tuan rumah keluar menghampiri kami. Didalam rumah kami memperkenalkan diri, serta maksud dan tujuan kedatangan kami. Setelah selesai melakukan tugas, kami menghabiskan waktu dengan berbincang dengan si Bapak paruh baya itu. Ia hanya perpendidikan persamaan paket C, namun kemauan belajar dan mengetahui hal-hal baru terpancar dari rona wajahnya. "Saya ini tidak lulus SD pak, tapi saya tidak mau dibodoh-bodohi sama pemimpin yang jahat" ujarnya. "Kami hidup disini serba terbatas, bapak-bapak rasakan sendirikan lama dan bagaimana perjalanan menuju desa kami ini?". "Tidak ada apa-apa yang bisa membuat desa kami maju, jangankan untuk seperti yang ada di Jawa, seperti di Ibukota kecamatan saja mustahil, saya dari muda sudah ikut bantu-bantu bikin jalan, tapi tetap saja tanah, batu, tanah batu pasir saja bahannya tidak ada aspal atau semen,. "Listrik kami belum merasakan, ini kita cuma pakai alat solar panel untuk tiga lampu saja". "Kemarin ada yang datang bilang program pemerintah untuk saluran televisi tapi kami harus bayar Rp 250.000,00 tiap bulan, dulu bilangnya satu tahun saja tapi sekarang terus-terus harus bayar untuk hiburan satu-satunya ini, sebenarnya berat pak". Ujarnya. Dan yang kami saksikan, jaringan televisi bonafit milik swasta yang telah dilego ke negeri jiran yang membodohi mereka. Dan kata yang membuat miris ketika si Bapak berkata: "kami belum merdeka, pak".
Tak tega dengan ucapannya yang pesimis tapi itu realitas, kami hanya bisa memberikan motivasi dan berbagi rasa optimis serta "positive thinking". Memberi semangat dan pemahaman tentang arti pendidikan untuk anak-anaknya kelak, memberikan wawasan tentang potensi desa antara lain: produk pisang yangdibeli pengepul Rp10.000,00 pertandan, singkong yang hanya dijadikan makanan biasa, kopi luak yang tak dianggap, dan lainya yang harus diolah untuk menjadikan sebuah kekuatan kemandirian masyarakat desa tersebut. Mereka sudah terlampau lama mandiri, tak lagi mengharapkan bantuan atau sekedar mendengarkan janji-janji harkos (harapan kosong) para legislator, tapi jangan pula membodohi mereka atas nama program prorakyat. Diakhiri dengan ucapan "maaf duduk kosong ini pak" untuk menyatakan hanya sekedar sajian kopi Flores yang sangat nikamat dan berjabat tangan kami meninggalakan desa tersebut.
Pengalaman lain adalah ketika kami berada di desa Cunca Wulang yang terkenal ke wisatawan benua biru karena air terjunnya yang sangat Indah. Keindahannya membuat kami dua kali mendatangi desa tersebut untuk urusan pekerjaan dan wisata. Perjalanan menuju desa dikecamatan Sanonggoan (jika tidak salah) ini bukan berarti mudah, akses jalan yang sempat menginatkan statement bapak Camat "bagai mana untuk akses jalan tidak masalah?". Jalanan menuju ibu kota kecamatan Sanonggoang, Kab. Manggarai Barat, melewati lembah-lembah, bahkan ketika masuk kita bisa melihar posisi jalan tepat diatas punggungan bukuit. Beberapa sambungan jalan membuat salah satu dari kami harus turun untuk mendorong motor, karena jalan berlubang ditutupi oleh batu-batu lalu ditimbung dengan serbuk gergaji. Tak luput pula jembatan putus yang disambung dengan jajaran batang pohon kelapa dan yang fantastis adalah, jalan menurun dan berlubang yang tersisa material tumpukan batu besar serta sebuk gergaji basah dan sangat licin, membuat antrian motor-motor menununggu satu persatu melewati jalan tersebut.
Tantangan pertama kami lewati, hingga kami tiba diperkampungan. Lalu setelah basa-basi mampir bukan untuk urusan pekerjaan ke bapak camat untuk mendengarkan curhatan dan semprotan yang seharusnya diarahkan kepada Kementrian Informastika. Namanya juga usaha, akhirnya kami bisa mendapatkan rekomendasi untuk menuju salah satu air terjun terindah di Flores. Pak Chalis yang baru dari kebun, sedang mengeringkan rambut bersedia mengantar kami menuju air terjun, walaupun sebenarnya cukup mudah untuk tracking tanpa pengantar. Dibutuhkan waktu satu jam untuk tracking menuju air terjun, melewati hutan desa yang masih terbilang alami dengan vegetasi khas daerah lembahan menambah sensasi perjalanan tracking. Akar-akar pohon sering kali akan mengat kaki jika kita tak fokus, daun-daun dan dahan pohon perlu diantisipasi jika tak ingin merasakan tamparan, begitupun keadaannya mungkin akan membuat anak gaul meminta mundur dari perjalan, tapi tidak bagi turis asing, begitu khusuknya mereka menikmati tracking, walaupun kalah cepat dengan kami :)
Korban tidak hati-hati |
Air terjun tertutup tebing |
Akhirnya deruan aliran air terdengar mengantar kami ke sisi aliran sungai yang hijau. Bebatuan besar yang tampak seperti dibentuk menyerupai kolam-kolam. Ini benar kolam tapi kolam Maha Karya Sang Ilahi, membuat insting geolog kami muncul memberikan sedikit analisa tentang jenis batuan dan proses terbentuk, hingga tebak-tebakan aliran lahar gunung berapi mana yang sempat mengalir disini. Alah...
Memang benar indahnya air terjun itu, air segar yang mengalir melewati parit-parit batu, diiringi siulan burung-burung liar diatas pohon menambah tenaga untuk segera berada di tempat pemandian. Ketika tiba Pak Chalis menjelaskan bahwa posisi air akan setinggi jalur yang kita lewati dan pasti berwarna coklat ketika hujan. Uniknya hingga saat ini masyarakat sekitas tidak mengetahui berapa kedalaman aliran yang berbentuk kolam tersebut.
Sambil mengabadikan moment langka ini kami menaiki tangga-tangga batu menuju dinding tebing yang biasa digunakan untuk beristirahat ataupun terjun. Kami melewati rombongan gadis Bali yang kehausan yang sempat meminta bekal air, dan kami mengambil posisi istirahan pada bagian atas lantai tebing *agar tidak kelihatan ketika ganti pakaian :) . Ekspresi bahagia tidak dapat ditutupi dari wajah kami, seperti mematahkan batas kemampuan ketika kami harus mengendarai motor dari pulau Lombok menuju Flores dan dihadiahkan keindahan pelosok Negeri ini, pulau Bunga tak salah julukan bangsa Portugis untuk mengekspresikan keindahannya.
Setelah puas mensyukuri nikamat keindahan alam dengan menikmati secara bijaksana, kami memutuskan untuk kembali ke perkampungan lalu melanjutkan tugas kami. Setelah tiba diperkampungan ternyata Pak Chalis yang mengantarkan kami menyuguhkan gelas-gelas kopi hitam Flores untuk kami berempat. Kami menunda untuk beranjak dan menikmati kopi Flores, di saat itupula warga mulai berdatangan menyalami kami dan ikut bergabung dihalaman rumah Pak Chalis tepat di bawah pohon rindang. Suasana semakin hangat ketika obrolan diantara warga dan kami mulai terbuka diselingi canda-tawa bahagia dan polos mereka. Mereka menceritakan keadaan masyarakat, sarana dan prasarana, pendidikan hingga kunjungan rutin Mahasiswa-mahasiswa salah satu universitas negeri di Jogjakarta yang melakukan program KKN di desa Cunca Wulang.
"Kami disini senang kalau banayak tamu datang mandi-mandi ke cunca (air terjung dalam bahasa lokal), bisa tambah-tambah penghasilan masyarakat yang antar-antar tamu disini. Biar tidak lancar bahasa Inggris yang penting bisa komunikasi sedikit-sedikit asal tamu senang, dan banyak yang datang. Kalau adik-adik bisa bahasa Inggris boleh datang lagi nanti, ajar anak-anak disini bahasa asing biar bisa bicara dengan turis-turis" kata Ayah dari Pak Chalis. Yah, sebuah basa-basi tawaran dari mereka yang menginginkan perubahan di desa mereka. Apa lagi ketika kawan-kawan memberitahu jika saya pernah menjadi guide untuk turis Prancis. Mereka sempat menawarkan untuk tinggal dirumah warga, dan bisa memberikan les gratis kepada pemuda-pemuda desa. Andai saja saya sistem perkuliahan memungkinkan saya jadi sarjana tepat waktu mungkin tanpa pikir panjang saya akan terima tawaran tersebut, sayang sekali terbentur masalah usia :) . Ada skala prioritas yang harus saya utamakan.
"Beginilah desa kami, jauh dari mana-mana, jalan rusak seperti mau pergi kebun saja. Batu-batu besar, batang pohon kelapa, kadang-kadang jadi sungai jalan raya ke desa ini padahal ini ibu kota kecamatan dik". Apalagi kalau bilang listrik, kami belum dapat fasilitas listrik yang layak, kami pakai lampu dari solar pannel saja sudah cukup untuk kami. Adik-adik bisa bayangkan sekarang saja seperti ini, bagaimana zaman saya muda dulu, atau zaman orang tua dulu, sudah 68 tahun Indonesia merdeka, tapi hanya dikota-kota saja yang merdeka, kami disini belum merdeka. Mungkin teriakan "Merdeka" hanya ketika perjuangan lawang penjajah dulu saja". Jelas Bapak Tua itu.
Statement Bapak tersebut kembali menyentuh hati nurani, kami yang datang atas misi program pemerintah pusat untuk daerah-daerah terpencil bisa merasakan apa yang mereka rasa. Tak semua program pemerintah dieksekusi secara kotor, mudah-mudahan saja masih ada orang yang berhati nurani (bukan parpol) yang melaksanakan program pemerataan pembangunan, tak seperti program yang mubazir seperti yang kami temukan dilapangan. Sudah mubazir banyak, membodohi orang-orang didaerah pula. Na'uzubillah min zalik.
No comments:
Post a Comment