Monday, September 30, 2013

Rancaknyo Minangkabau


Sesuai Judul

Setelah mendapat kepastian dari HR Manager Mbak Moline, ngomong "yah, boleh asal sama dengan harga ke Jakarta" Saya langsung sumringan, pura-pura tenang dan cool. Padahal wuoooooh senengnya ampunnnnn, Alhamdulillah ya Allah saya bisa jalan-jalan ke Padang, dapat tiket gratis! Bisa nyampe kampung halaman uda-uda/uni-uni langganan tempat makan asam pade dan langganan beli kaos di cimol. Tiket gratis sebenarnya fasilitas dari resort tempat saya bekerja di pulau Bintan untuk kembali ke Jakarta. Namun saya meminta dialihkan ke Aceh, untuk bisa nyisir Sumatra dari Provinsi paling ujung. Tapi dengan catatan, harga harus sama Batam - Jakarta, lalu setelah mengakali ternyata Padanglah yang paling memungkinkan.

Dan sore itu saya berangkat dari Bandara Hang Nadim Batam menuju Mingnakabau International Airport menggukan maskapai penerbangan Singa dan tiba dengan sehat wal afiat sekitar pukul 18.00 WIB. Ketika tiba saya coba mengontak kawan dari sebuah komunitas, namun dia tidak bisa dihubungi. Berhubung hari semakin gelap, dengan petunjuk kawan tersebutt saya turun didaerah tak jauh dari Mall Basko untuk mencari penginapan. Dengan sekali lihat langsung dapat penginapan yang asik, suasana ruangannya seperti film Siti Nurbaya, nyaman dan terjangkau. Cocok untuk segara berbaring, menyiapkan tenaga untuk keluyuran besok hari.



Balai Kota Padang

Pagi itu saya sudah terbangun dari tidur pulas, maklum seharian manggul backpack 60 liter dan satu daypack, sisa bekal kerja di Clubmed Bintan. Saya mulai aktifitas pagi di Ranah Minang dengan segelas kopi dan cemilan serta membaca buku yang tertunda khatamnya. Sambil menunggu tempat-tempat nongkrong di sekitaran Basko Mall buka, kebetulan saya ada janji dengan kawan dari komunitas traveler lokal. Kami bertemu si restoran fast food di bilangan Basko Mall, berbincang dan berbagi pengalaman. Kebetulan si 'Uni" yang saya temui pernah beberapa minggu di Bandung, untuk mengikuti diklatsar Wanadri, mungkin jika liat orangnya kita tidak percaya kalau dia anggota Wanadri, badan kurus kecil, tapi nyali dan fighting spiritnya luar biasa. Ia juga berbagi tentang informasi dan pengalaman travelingnya khususnya di Sumatra Barat. Sekaligus menjadi petunjuk bagi saya untuk tempat-tempat yang recommended di Sumatra Barat.


Jembatan sebelah Basko Mall

Saking seru kami bercakap-cakap, ga terasa hari sudah sore lagi. Dan Saya kembali ke penginapan di sekitar kampus Bung Hatta Padang. Malam hari seorang kawan datang, menghampiri saya di penginapan dengan maksud mengajak saya untuk menumpang di rumahnya, kebetulan dia bapak kostan dari beberapa kamar kostan di rumahnya dan jika saya masih jiwa anak kosan. Saya dengan senang hati menerima tawarannya dan bersedia dijemput kesokan harinya. Siang hari saya sudah standby setelah kembali repacking semua logistik yang sempat berhamburan dikamar dan goodbye penginapan m@dinah :)


ki-ka: Jimday, Rahamat, Kemal Marley
Ternyata walaupun pemilik kost-kostan ternyata kawan saya Jimday, sama seperti anak kostan lainnya. Kebetulan kamarnya menjadi markas bagi kawan-kawan saya dari Padang lainnya. Dan hari pertama kami bertemu lebih terasa ramah-tamah temu kangen setelah kurang lebih 6 tahun tidak bertemu selepas sekolah. Malam hari, beberapa kawan lainya yang baru saja pulang kerjapun turut bergabung, mengunjungi rumah kawan-kawan lain yang jaraknya tak jauh dari sana. Kami menghabiskan malam bersama, bahkan Kamil, kawan yang juga usahawan mempercepat tutup swalayanya untuk menikmati malam bersama di Jembatan Siti Nurbayah. Dengan sajian "Teh Taluak" dan beberapa bungkus cemilan malam dengan background pelabuhan jaman dulu, mungkin sejak kisah Uni Siti itu. Kilauan lampu jalan yang terpasang mengeluarkan mozaik oranye yang bertambrakan dengan aliran air dan riak-riak arus gelombang. Kemal, kembali mengisahkan legenda yang tersohor itu, sembari mengakhiri malam kebersamaan diatas jembatan Siti Nurbaya.


Kapal-kapal kayu
Jembatan Siti Nurbaya
Bersama melewatkan malam

Hari berikutnya kawan-kawan saya siap memulai hari untuk bekerja, kebetulah dua di antara tiga yang setiap hari berada di kostan meniti karir di perusahaan telekuminikasi pelat merah. Mereka harus siaga sejak pagi, lalu saya pastikan untuk tidak cengo sendirian tanpa aktifitas. Saya memutuskan untuk di antar menuju salah satu travel untuk berkunjung ke Bukit Tinggi sebagai salah satu tempat ikon Sumatra Barat. Pagi itu, saya diantar oleh Rahmat, menuju pool travel, yang tak jauh dari penginapan saya sebelumnya. Tak lama setelah membeli tiket, sambil berharap duduk di sebelah yah maksimal 25 tahunlah umur gadis minang itu. hehehe. Dan dream comes true, Di sebelah saya duduk gadis minang yang manis. Ketika dia masuk ke mobil, saya sambut dengan senyum yang sudah di ancang-ancang, dan si gadis minang itu duduk dengan wajah menunduk :( . Sejenak sebelum mobil berangkat, ia turun sebentar, dan bertukar posisi dengan ibu di belakang yang mengaku pusing duduk di jok belakang. Cuma sedikit kurang beruntung..

Beranjak dari kota Padang, mengundang kantuk saya yang tak kuat lagi tertahankan. Sesekali saya terbangun dan mencoba menahan kantuk untuk bisa menikmati keindahan alam sepajang perjalanan. Ketika mobil berhenti sejenak disekitar Lembah Anai, saya terperanjak oleh pedagang yang menjajahkan makanan sambil berteriak "pekedel..pekedel..pekedel angek". Maksudnya perkedel hangat, perkedal jagung yang mereka jajakan memang mengundang selera makan dengan semerbak harum bumbunya yang tertiup angin lembah menyebar ke dalam mibil yang saya tumpangi. Karena mobil berhenti tak terlalu lama saya sempatkan mengambil foto di sekitar air terjun dan vegetasi hutan lembah Lembah Anai.


Vegetasi Lembah Anai
Air Terjun Lembah Anai
Perjalan dilanjutkan menuju Bukit Tinggi, cuaca kala itu tak terlalu cerah, mudah-muda tak turun hujan ketika saya sedang berkeliling di Sekitaran Jam Gadang nanti. Tak lama mobil yang saya tumpangi tiba di Terminal Simpang Aur Bukit Tinggi, tempat kelahiran sang Proklamator Muhammad Hatta. Semua penumpang segera turun, Saya sempatkan bertanya kepada salah satu penumpang untuk mendapatkan informasi waktu keberangkatan terakhir mobil yang kembali ke Padang. Setelah mendapatkan informasi saya melanjutkan perjalanan menuju Jam Gadang ikon kota Bukit Tinggi. Saya menelusuri jalan sepanjang Pasar Bawah, menuju alun-alun kota Bukit Tinggi, hanya bermodalkan insting pejalan kaki dan petunjuk jalan, karena saya yakin sebagai ikon kota tempat tersebut mudah untuk ditemukan.


My Guide


Welcome to Bukit Tinggi
Modern vs traditional

Sekitar berjalan kurang lebih satu jam saya telah tiba di sekitar Jam Gadang, tepat di bagian bawah, yang tampak seperti pusat ekonomi sebelum memasuki gerbang pasar Atas. Deratan pusat-pusat jajanan atau tempat nongkrong banyak yang bisa ditemui sepanajang jalan menuju Jam Gadang. Udara sejuk walaupun terik matahari cukup membuat keringat mengalir. Perlahan, sambil berjalan pelan menikmati suasana daerah perbukitan di Sumbar ini saya telah sampai di Jam Gadang yang saya tahu dari pelajaran IPS ketika di bangku Sekolah Dasar dan mendengarkan cerita kawan-kawan sekolah serta kuliah yang berasal dari Sumbar. Tak terbayang sebelumnya bisa menginjakkan kaki di sini, berada di pulau Sumatra, yang jauh dari rumah saya di Sulawesi, mungkin tidak tersedia maskapai dengan penerbangan langsung, butuh lebih dari satu hari menggunakan pesawat apalagi jalan kaki ya :). Satu halaman buku pelajaran IPS Sekolah Dasar telah saya sambangi, mudah-mudahan perlahan pengalaman saya kelak tak kalah dengan buku IPS Sekolah Dasar dulu, saya akan sambangi semua wilayah Indonesia tercinta ini.

Suasana di pelataran Jam Gadang cukup banyak pengunjung, tata kelola taman memberikan sarana bagi masyarakat akan kebutuhan "public space" ruang terbuka publik, sebagai tempat wisata murah, tempat berolah raga untuk menghilangkan kepenatan sepanjang hari kerja, sebagai tempat bersosialisasi masyarakat sebagai bentuk komunikasi antar individu yang sangat dibutuhkan dimasa yang sangat individualis saat ini. Semoga saja setelah renovasi pada Jam Gadang dan Taman sekitarnya mampu memberikan kenyamanan bagi masayarakat maupun wisatawan yang berkunjung ke Bukit Tinggi khususnya Jam Gadang.


Jam Gadang
Top of Jam Gadang

Sedikit kurang beruntung, ketika sedang mengelilingi area  Jam Gadang ini cuaca memburuk, hujan turun  cukup deras, angin kencang sesekali disertai geledek memancar di langit Bukti Tinggi yang coklat pekat siang itu. Sambil mengabadikan momen-momen di sekitar jam Gadang adalah pilihan untuk menunggu ujan reda di salah satu supermarket yang berada tepat di depan Jam Gadang. Tak banyak destinasi wisata yang sempat saya sambangi di Bukit Tinggi, hanya Jam Gadang, Taman Monumen Bung Hatta, Istana Bung Hatta saja karena cuaca yang kurang mendukung dan kunjungan sehari.

Hujan sedikit berkurang menyisakan rintik gerimis bersanding dengan hawa sejuk perbukitan. Saya memutuskan segera meninggalkan daerah Jam Gadang menuju terminal Simpang Aur. Namun sedikit kurang beruntung ketika sedang dalam perjalanan, hujan kembali deras sehingga membuat saya mencari tempat beteduh, deretan tempat nongkrong tak jauh dari alun-alun yang menyajikan pemandangan kota menjadi pilihan saya. Suasananya bersih, ramai namun tetap asik untuk sekedar duduk menghabiskan waktu. Pemandangan kota dengan background gunung-gunung mempercantik suasana Bukit Tinggi kala itu. Tak lama segera segelas kopi gayo hangat dan pisang sebelah campur es krim atau bahasa krennya 'banana split' tersaji di depan saya sambil membaca buku sore itu di Bukit Tinggi.


Tongkrongan Anak gaul Bikit Tinggi
Meal of the day
Setelah hujan reda, saya segera menuju terminal Simparng Aur, ketika itu sudah pukul empat sore, memungkinkan saya untuk menumpangi travel pada pukul lima sore menuju Kota Padang. Perjalanan singkat hari ini cukup berkesan, bukan seberapa lama, atau seberapa jauh saya melangkah, tapi seberapa berarti perjalanan ini untuk diri saya. Ketika mampu melihat, mengidentifikasi dan memaknai keunikan-keunikan masyarakat yang tak jadi perhatian orang lain. Keberagaman budaya, perbedaan memperkaya wawasan juga cara mengapresiasi serta bertindak. Semoga perjalan singkat bisa membua saya pribadi yang lebih baik lagi :).




Tangga Menurun Jenjang Gudang


Bung Hatta


Taman Jam Gadang


Pelataran dengan view kota


Terminal Simpang Aur

Saya pun telah berada di Terminal Simpang Aur, sudah kembali duduk di Travel yang sedang menunggu beberapa penumpang sebelum berangkat. Seperti mendapat salam hangat perpisahan dari Bung Hatta, salah satu tokoh yang saya kagumi ketika mobil beranjak meninggalkan Bukit Tinggi. Perjalanan di hari yang mulai beranjak gelap membuat saya tidur sepanjang perjalanan hingga terbangun ketika telah tiba kembali di kota Padang. Berkumpul dengan kawan-kawan yang menginterogasi tentang perjalan saya hari itu.

Kesokan harinya adalah Kemal yang mengajak saya menghabiskan waktu berkeliling ke Pantai Air Manis dan Pelabuhan Teluk Bayur. Tempat batu berbentuk manusia yang durhaka kepada Ibunya si legend Malin Kundang, yang ceritanya tresohor bahkan menjadi favorit sewaktu kecil, entah saya sudah atau belum sekolah kala itu. Anak-anak usia sekolah jaman sekarang masih tau cerita si Legend Maling Kundang ga ya?
Dan Pelabuan yang namanya tidak asing di telinga saya. Teluk Bayur, terdengar seperti bagian lirik dari sebuah lagu atau apapun itu bentuk karya sastra dan seni. Bersama Kemal, juga Roby 'Balok' dan teman perempuanya mengendarai sepeda motor kami meluncur menuju Pantai Air Manis bersama-sama. Jalanan menanjak menurun kami lewati, kurang lebih setengah jam. Dalam perjalanan panorama indah sudah tersaji, bentangan pesisir pantai serta perahu-perahu traditional nelayan yang berjejer diparkit ditepi pantai. Belum lagi sang Bapak rumah tangga yang sedang mencari nafkah di tengah laut seperti membuat hamparan  di tengah laut yang mengingatkan lukisan-lukisan landscape pantai.



Hamparan sampah plastik
sun set pantai Air Manis

Segera, kami tiba di parkiran Pantai Air Manis, setelah memarkir Roby berjalan ke arah kiri pantai, menuju batu Malin, lalu saya dan kemal berjalan ke arah kanan pantai menuju pulau kecil yang terpisah beberapa meter dari darat, mumpung air belum pasang. Sambil sesekali mengambil gambar, kami berjalan dihamparan pasir hitam pantai. Bermacam-macam yang kami obrolkan, dari pengalaman, hingga masallah-masalah yang tengah kami alami, sehingga tak terasa kami telah berjalan mendekati pulau kecil itu. Namun, sayang sekali kami tetap tidak bisa menyeberang karena di bagian dekat pulau itu cukup dalam, kami harus nyebur menuju ke sana. Berputar arah menuju ke batu Malin, saya baru sadar ketika memandangi bentangan pantai itu dari ujung kiri tenyata nampak seperti hamparan sampah plastik. Benar saja, sampah kantong plastik bertebaran sangat padat. Bisa kita bayangkan, sudah sejak kapan sampah yang dibuang itu mengendap di sepanjang pantai Air Manis, bagaimana dengan sampah-sampah plastik yang baru dibuang kemarin, hari ini, besok, lusa dan seterusnya? Sampai kapan kebiasaan ini akan berlangsung dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Semoga ada yang tergerak hatinya untuk setidaknya menempatkan sampah kantong plastik itu tidak di Pantai.

Posisi batu Malin sore itu cukup dipadati orang-orang yang berkunjung. Ditambah sore itu turut datang Bang Komen, dkk yang sedang syuting sebuah acara komedi jahil di sana. Keadaan batu memang sudah tak terlalu berbentuk manusia utuh, namun masih menyisakan bentuk bagian-bagian tubuh yang tak sulit untuk ditebak bahwa tampak sedang dalam posisi sujud. Untuk lebih membuat yakin para pengunjung, belakangan ditambahkan seperti pondasi yang tak berbentuk, seakan-akan adalah sisa kapalnya yang karam dan membatu disekitar pantai.


si legend Malin Kundang


replika kapal Malin
Setelah itu kami beranjak menuju Teluk Bayur, menikmati suasana dari bukit yang menyajikan pemandangan syah bandar yang harus namanya sejak jaman dahulu. Kesibukan pelabuhan masih terpancar dari suasana kini pelabuhan itu. Pelabuhan yang terkenal dengan naman lain Emmahaven dibangun oleh kolonial Belanda pada tahun 1888, pada waktu itu ditemukan batubara 1868 di Sawahlunto. Teluk Bayur menyimpan kenangan dan romatisme bagi masyakat Minangkabau sehingga keelokannya diabadikan dalam sebuah lagu yang dinyanyi kan oleh Erni Djohan dengan lirik berikut:


Selamat tinggal teluk bayur permai 
Daku pergi jauh ke negeri seberang 
Ku kan mencari ilmu di negeri orang 
Bekal hidup kelak dihari tua

Selamat tinggal kasihku yang tercinta 
Do'akan agarku cepat kembali 
Ku harapkan suratmu...setiap minggu 
Kan ku jadikan pembuluh rindu...

Lambaian tanganmu kurasakan pilu didada
 Kasih sayangku bertambah padamu
 Air mata berlinang...Tak terasakan olehku 
Nantikanlah aku di teluk bayur
Nantikanlah aku di teluk bayur...

Setelah mencari-cari spot yang tepat untuk menikmati suasana, akhirnya kami menemukan sebuah warung yang berada dipinggiran bukit yang menyajikan pemandangan langsung Teluk Bayur. Tak lupa pula dua gelas kopi hitam kami pesan sebagai pelengkap suasana sore itu, tak luput pula goreng pisang sebagai teman kopi di hadapan kami. Disela-sela perbincangan dan cerita-cerita kilas balik masa kuliah di Bandung dan masa sekolah di Indramayu, bercanda lalu mengabadikan momen sebagai bukti kunjungan dan koleksi bagian-bagian ke Indahan Indonesia di Ranah Minang.

Teluk Bayur dari kejauhan
Nongkrong & ngopi
Teluk Bayur
Malam itu setelah kembali dari Teluk Bayur adalah malam terakhir saya di Padang, karena secara mendadak ada sedikit perubahan janji interview saya dengan sebuah hotel di Pulau Bintan yang melakukan walk in interview di Jakarta. Saya juga terpaksa untuk menggunakan bus Padang - Jakarta, dengan koondisi harga tiket penerbangan sangat tinggi diluar estimasi saya. Tak pelak, sisa malam saya habiskan untuk berkeliling, menikmati suasana malam di Padang. Mengunjungi salah satu kawan sekolah yang bisa dibilang kawan satu geng ditahun terakhir sekolah dulu. Dia sudah lama tak beraktifitas diluar rumah karena kecelakaan motor yang membuat salah satu kakinya patah dan membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihan, Ully Arta namnya. Kawan yang penuh keceriaan, dengan pembawaan yang kalem dan mengasikkan menerima kunjungan saya dengan ramah, meskipun dia butuh waktu untuk mengingat nama saya yang belum saya beritahu. Dengan aksen Padang yang sudah kembali kental tak seperti ketika jaman sekolah dulu, ia berusaha menceritakan musibah yang dialaminya beberapa tahun silam. Sang ibu juga tak luput ikut mengisahkan dan berbagi kebahagiaan malam itu. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB, kami pamit kepada Ully dan Ibunya sembar saya memberitahu ini sial nama saya yang langsung disambar oleh Ully, "ya, Mah.. Mahris, anak sulawesi kan? Ingelah aku nama kau". Ujar Ully disambut oleh tawa kawan dan Ibunda Ully. Setelah berjabatangan kami meninggalkan rumah Ully, menuju rumah Rahmat yang jaraknya tak jauh untuk sekedar berpamitan kepada orang tua Rahmat.

Kembali menhabiskan sedikit sisa malam, kami melewati dan berhenti sejenak di sebuah masjid tua di Padang, yang usianya sudah ratusan tahun. Tak banyak perubahan dan tak mengalami kerusakan ketika terjadi gempa bumi yang memporak-porandakan kota Padang beberapa tahun silam. Berputar-putar, tak terasa malam semakin larut, sambil melintasi sebuah pasar malam, kami sempatkan membeli buah kesukaan saya durian untuk menutup malam terakhir di Padang. Terima kasih kawan, Jimmy, Kemal, Rahmat, Kamil, Robby atas waktu dan pengalaman yang kalian berikan. Semoga solidaritas PERSADA selalu terjaga. Sampai jumpa paling tidak 2016 di saat reuni sekolah nanti. Ma' alnajah!











Indonesia.Travel - http://goo.gl/pTZiA0

2 comments: