Ue Button Coast |
Kali ini bukan perjalan saya untuk pertama kalinya ke sana, dusun mungkin bisa disebut daerah tersebut. Untuk masyarakat setempat menyebutnya Uebuttong terletak di sebelah barat laut Desa Tete B kecamatan . Wilayah kabupaten To-Una yang sudah tersohor hingga ke mancanegara untuk urusan destinasi wisata baharinya. Kira-kira berjarak 2 km dari desa, menelusuri jalur perkebunan masyarakat desa yang didominasi oleh kelapa sebagai hasil bumi andalan desa. Desa Tete B adalah perkampungan suku bajo, salah satu dari kampung dari sekian banyak perkampungan suku bajo yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam sebulan kebelakang saya telah beberapa kali bolak-balik karena disana Ibu saya berasal. Singkat cerita di dusun Ue Buttong pada awalnya hanya lahan hutan dengan kontur bukit batu-batu karang. Satu dekade ke belakang ada seorang kawan Bapak saya yang membuka kebun di Ue Buttong, karena kondisi airnya yang sangat jernih, si empunya membuat sebuah karamba apung berbentuk perahun dan terdapat rumah pada bagian atasnya. Sekitar dua tahun lalu ada seorang orang asing kebangsaan Swiss melalui katanya istrinya membeli lahan tersebut seharga 150 jt. Saat ini lahan tersebut telah dibersihkan dan cukup nyaman serta menjadi salah satu tempat tujuan diakhir pekan masyarakat di kecamatan Ampana Tete.
Jernih dan bening |
Warga pinggir laut, wisata dipantai ;) |
Wilayah Ue Buttong yang dimiliki oleh wisman tersebut bisa di bilang tempat paling luas yang memiliki tanah ratanya, meskipun tidak memiliki pantai yang berpasir putih. Namun kejernihan air diwilayah Ue Buttong cukup menakjubkan, sisa-sisa koral tua dan koral muda yang sedang tumbuh bisa kita liat dengan jelas dari permukaan demaga kayu yang dibangun sepanjang kurang lebih tiga puluh meter. Di dermaga itulah yang menjadi jumping spot para pengunjung. Rekreasi murah meriah untuk sedikit melepas penat di akhir pekan.
Beruntung setiap kali berkunjung ke sana saya tidak pernah lupa membawa perlengkapan snorkling.Sehingga saya bisa mencicil sedikit-demi sedikit menyusuri keindahan bawah air Ue Buttong, yang pada akhir pekan kemarin saya telah habis menyusuri ber-snorkling ria sepanjang Ue Buttong. Meskipun bisa dibling tinggal menyisakan sisa-sisa koral dan generasi koral yang sedang tumbuh, namun keindahan dasar laut Ue Button tidak kalah dengan spot snorkling di pantai senggigi Lombok atau Pulau Kambing dan Pulau Bidadari Flores.
Di Ue Button bisa dimaklumi, wilayah yang masih termasuk dalam kampung bajo ini merupakan korban pengeboman para nelayan dan penggalian batu untuk digunakan sebagi bahan bangunan dahulunya.
Ikan-ikan di permukaan air |
Nampaknya saat ini masayarakat di desa sudah menyadari, dengan meresakan sendiri dampak dari perbuatan mereka sebelumnya dengan berkurangnyaa hasil tangkapan mereka jika mereka memancing disekitar desa saja. Semoga ketidak tauan yang membuat mereka beralasan menggunakan bom, menjadi pengetahuan yang konsisten dan tertanan sebagai kesadaran individu serta berkelanjutan terlebuh untuk generasi penerus yang mungkin masih balita, atau sedang mengenyam pendidikan. Karena merekalah yang akan merasakan dampak jangka panjang dari kerusakan ekosistem bahari di desa mereka.
Okeh sedikit pesan moral, lanjut lagi ke cerita. Ekosistem laut Ue Buttong memperbaiki sendiri keadaannya tanpa bantuan manusia atau masyarakat sekitar. Setelah di hancurkan dan biarkan, koral-koral dengan keragamannya perlahan tumbuh. Saya sempatkan untuk menyelam ke bawah mendekati koral-koral mungkin sedang berusia remaja, adapula yang sudah berusian ABG mungkin. Jenis biota laut yang yang saya jumpai juga sangat variatif, dari jenis ikan hiar termasuk si 'badut' yang sama bule di sebut "Clownfish" atau bahasa ilmiahnya "Amphiprioninae", berkali-kali saya temukan sedang bermain-main dirumahnya 'anemon'. Seakan-akan dengan malu-malu ia mengajak saya bermain, keluar ke permukaan anemon lalu kembali masuk bersembunyi di balik anemon, lalu seperti mengintip dan bergerak berpindah-pindah mengelilingi anemon.
Top markotop |
Jenis ikan lainnya seperti kakap, kakatuan, kerapu, barakuda, hingga napoleon sangat mudah di temukan. Si Raja Perancis (baca: napolen) ini bisa ditemukan dengan beragam jenis, dari warna hingga bentuknya. Ada yang mulutnya gak pipih dan panjang, ada yang berwarna gelap dan ada yang terang dan menyala. Belum lagi ikan hias dengan warna-warna menyala yang berenang menjauh ketika saya mendekati mereka. Cantik warna biru, ungu, kuning, oranye dan lainya membuat saya tidak merasa jarak yang cukup jauh telah saya tempuh, jika di kalangan PA (Pecinta Alam) ada kegiatan susur pantai, kalau saya istilahkan 'susur laut' snorkling menyusur laut sepanjang Ue Buttong.
Selepar bersnorkling di Ue Buttong, saya dan dua orang adik sepupu saya berajak kembali ke desa, bukan berarti pulang ya! Kami kembali ke desa untuk melanjutkan perjalanan ke Pasir Putih, begitulah nama klasik desa ini di kenal masyarakat desa lain. Pasir Putih adalah sebuah daratan kecil bisa disebut semacam pulau dengan ukuran sangat mini berukuran luas sekitar 10 meter persegi. Jarak dari dermaga desa menuju Pasir Putih sekitar 2 mil, atau 1/2 jam menggunakan perahu dayung tradisional. Pulau ini berupa camputan batu karang dan gundukan pasir. Inilah pertama kali saya menyambangi tempat ini. Sudah sejak kanak-kanak saya ingin sekali singgah menikmati taman bermain di tengah laut itu. Sayang saya tidak punya underwater camera untuk mengabadikan, mudah-mudahan gaji dibayar minggu depan biar bisa beli ;)
cameraman silau, kepala didiskon |
Matahari sudah terlalu terik ketika kami beranjak, perlahan dengan menggunakan dua dayung kami mengambil rute berputar menuju sisi koro pulau karena tepat di depan kami tidak bisa dilalui, terhalang oleh batu karang dipermukaan air yang sedang surut tersebut. Perlahan tapi pasti, melawan arus dan angin akhirnya kami tiba di Pasir Putih. Saat ini sudah berdiri dua bangunan rumah disana, tapi tidak digunakan sebagai tempat tinggal, hanya untuk tempat memancing atau bersantai saja. Saat itu terdaput pula anak-anak desa yang sedang mengait ikan tanpa umpan, dalam istilah lokal disebut 'bagate' yaitu menarik kail sekencang-kencangnya saat mata pancing berada si gerombolan ikan agar terkait dan digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan yang lebih besar lagi.
Meski membawa sedikit bekal cemilan yang di berikan oleh tante saya yang sempat saya sambangi sebelum ke perahu, namun terik matahari hari itu mampu membakar kalori tubuh lebih, mulut saya tak berenti mengunyah untuk menambah tenaga dari kue bolo sebelum kembali snorkling di mengelilingi Pasir Putih. Karena hanya membawa satu masker dan satu fin, apa daya kami harus bergantian menggukanannya. Kedua sepupu saya yang bersnorkling terlebih dahulu, berputar-putar di depan pantai Pasir Putih yang cukup curam kemiringannya. Tak mau melewatkan pengalaman snorkling di pulau super mini itu, saya pun mencoba dengan sisa-sisa tenaga meski tak lama.
Al, bukan AQJ di Pasir Putih |
Bersyukur hari itu saya menikmati trip singkat dengan pengalaman menarik walaupun sebelumnya saya menolak tawaran yang tak kalah menarik untuk trip ke beberapa pulau di wilayah Taman Nasional Togean. Alasan menolak trip adalah perjalan mereka untuk menghadiri festival bahari disana, tidak mungkin tanpa tujuan untuk mencari masa, syukur jika dengan janji kongkret, kalau dengan janji surga ya bohong kan namanya. Yah cukup sepak bola yang dicampuri oleh politikus, "no politician contaminate traveling!"
Bersihin masker dulu |
Semoga ngak banyak lagi tempat yg di beli waga asing, mudah2an masyarakat semakin sadar akan potensi positif wilayah nya ;-)
ReplyDeleteSemoga hasil jualan gorengan saya bisa cukup untuk beli lagi tempat itu tahun depan mas :)
ReplyDelete