Thursday, November 7, 2013

Merapi, Yogyakarta Kesekian Kalinya

Le sommet de Merapi
Libur tlah tiba...
libur tlah tiba...
Potongan lirik lagu anak-anak yang saat ini kalah bersaing dengan lagu dewasa yg cengeng, pesimistis dan tak jauh dari selangkangan. Lagu itu mencerminkan kegembiraan anak-anak menyambut liburan. Sebagai anak-anak pada 1 dekade-an ke belakang yang telah berada dibangku perkuliahan pada "Tingkat Akhir", Liburan = Traveling, yah jargon yang saya gunakan sendiri. Sebagai seorang yang unpredictable dalam traveling tak bisa direncanakan kapan dan kemana tujuan traveling saya semua saya lakukan dengan spontan. Ini yang membuat kawan-kawan saya kesulitan untuk ikut bergabung. Pada awalnya bumi Borneo adalah tujuan dengan tawaran dari seorang kawan tepatnya tantangan. Setelah menyesuaikan waktu, budget dan destinasi saya fix untuk menuju Borneo melalui Surabaya, sebelumnya saya akan mampir di Yogyakarta untuk membuang-buang waktu, menunggu kawan yang ingin ikut traveling namun Ia sedang berada di Semarang.

Setelah 12 Tahun
Menginjakkan kaki kembali ke kota Yogyakarta bertemu kawan-kawan seperjuangan yang selalui Saya temui, melewatkan hari demi hari dengan diskusi, toko buku, warung kopi. Dengan setia Saya menghabiskan waktu dan tentu Money untuk menunggu Kawan yang sedang berada di Semarang. Dengan petikan sms "2-3 hari ini saya sudah akan berada di Yogya". Dan tepat sekali ketika hari dan malam ketiga akhirnya Ia tak datang juga :( , lalu smsnya pun menyusul " Ris, maaf ane ga jadi ikutan ente ke Kalimantan", Juara bener ya. Ha ha ha. No matter, traveling must goes on. Namun ada hikmah lain dihari ketiga ini, Ada seorang kawan Saya ketika masih SD dulu yang jago mancing dan setiap hari tempat mainya hanya ke laut hingga kulitnya pun tutung atau eksotis, malah lebih dari itu Eko Purwanto namanya. Dia telah pindah ke Yogya Sejak tahun 2000, ketika itu kampung halaman Saya sedang terjadi konflik, Orang tuanya yang juga perantau dari Yogya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman mereka. Saya pun lupa kapan tepatnya Saya memberikan kartu nama padanya, namun persisnya ketika masih SD, Ia pun masih menyimpan kartu nama saya itu bahkan menghubungi saya, namun orang rumah pun mengatakan bahwa saya sudah lama di Bandung, dari situlah Eko mendapatkan no. Hp saya.
Ia mengbungi Saya, dan sudah beberapa kali terjalin komunikasi baik via telpon atau media sosial. Saya pun telah beberapa kali berniat untuk bertemu ketika berada di Yogya, namun kesempatan itu belum datang. Dan Kedatangan Saya kali ini memang telah waktunya Saya dan Eko bertemu. Malam ketiga itu Saya, Isnin dan Tessa "Drakula" sedang berada di warung Kopi di Bialangan Jalan Kali Urang dengan beberapa gelas minuman tradisional dan menikmati sisha. Sontak teringat sosok Eko, Saya coba untuk mengetik sms dan mengirimkan kepadanya. Tak Lama kemudian nada dering sms berbunyi pesan dari Eko berbuniy "Ok, Ris, smsin Nama tempat kamu sekarang, 30 menit lagi saya sudah disana". Segera saya membalas dan kembali berbincang-bincang dengan 2 orang kawan yang telah bersama.Kurang dari 30 menit sms dari Eko kembali masuk "Duduknya disebelah mana? aku dekat pintu dari arah parkiran? Sontak Saya berdiri menengok ke arah pintu dan tampak sosok Eko yang sudah tak legam seperti 12 tahun yang lalu. Saya segera menghampiri dan menyambutnya dengan pelukan kangen dua orang sahabat kecil yang tak pernah ada kabar selamaya 12 tahun. Saya langsung mengajaknya bergabung dengan kawan-kawan dan memperkenalakan Eko kepada Isnin dan Tessa.

Dua sahabat kecil berkumpul
Cerita kami semakin seru, dengan nostalgia masa kecil. bertanya kabar keluarga masing-masing. Dengan suara rendah Eko memberi tahu bahwa Ayah dan Ibunya telah bercerai dan Ia ikut bersama Ayahnya di Purworejo, namun 2 pekan sekali mengunjungi Ibunya di Yogya yang tinggal bersama Adiknya yang dulu masih ketika di Sulawesi Bayi. Kekangenan pada kampung halaman keduanya yaitu Poso terlontar dari mulut Eko serta ekspresi wajahnya. Terbesit rencana untuk kembali ke sana, Saya pun menyambut baik rencananya. "Jangan bingung klo mau ke sana sendiri, ke rumah saja toh 'torang' dari ecil sudah kaya saudara. 'Ngana' tiap hari ke rumah" Ujar Saya. "Iya, Ris. Mau Sekali ke Sulawesi tapi selesain kuliah dulu yah sekalian mengadu nasib lagi, siapa tau bisa mengjar disana". Ayah Eko adalah seorang Guru SMPN 3 yang tak jauh dari rumah saya. Kesamann secara kultur antar ayahnya dan ayahn Saya yang sesama orang Jawa perantau di Poso juga membuat keluarga kami sangat dekat. Reunian semalam suntuk memang tak cukup, kami lanjut untuk berkeliling Yogya menikmati suasana malam yang tenang sambil berfoto ria. Dan berakhir di kamar kostan Isnin. Dikamar kecil itu kami bertiga melepas kantuk.

Sisa-sisa Merapi
Pagi itu kami hanya tidur selama 4 jam. Pukul 5 Pagi, kami sudah terjaga dan siap berangkat menelusuri jalan Kali Urang menuju Merapi. Tak terpintas sebelumnya oleh Saya dan Isnin untuk melihat keadaan Merapi setelah sekitar 3 Bulan pasca erupsi. Melewati ramainya jalan Kali Urang, kurang dari 1 jam tibalah kami di pos penjagaan menuju lereng Merapi. Yah, masyarakat setempat telah mengubah kawasan lereng menjadi tempat wisata bencana. Hal positif nampaknya, dengan menerapkan sistem retribusi mungkin bisa menjadi usaha yang bermanfaat untuk mengembalikan kehidupan mereka para warga sekitar lereng Merapi. Sepanjang jalan yang lereng banyak terlihat dipasang spanduk-spanduk penyadaran yang berisi pesan-pesan religius yang bener sangat menyentuh, Saya sendiri merinding dan benar-benar membuat Saya manusia paling berdosa, merasa hina di depan Sang Kuasa. Memasuki daerah puncak merapi ada yang menarik bagi saya ketika melihat deretan rumah warga lingkungan sekitar yang tak tampak rusak parah, namun setelah berada pada daerah yang lebih tinggi dan tampak jelas ternyata pada bagian belakang rumah-rumah tersebut terdapat aliran lahar seperti sunga yang kira-kira berukuran lebar 30 m dan dan kedalaman 30 m benar-benar semakin membuat Saya merasa tak berdaya dengan kuasa sang Khalik. Kami pun tiba di kawasan yang dulunya adalah kampung Sang kuncen Alm. Mbah Marijan yang telah rata dengan tanah, namapak orang-orang yang datang menggunakan sepeda motor, berjalan kaki, bahkan ada yang menggunakan truk untuk melakukan reboisasi.Kami berada sekitar 2 km dari puncak merapi. Dari ketinggian tersebut terlihat jelas dampak yang maha dasyat dari siklus 5 tahunan Gunung Merapi yang kembali tidur saat itu. Dari atas lereng merepi dengan segenap kelemahan dan kehinaan Saya mengucapkan taubat pada Sang Maha Kuasa.
Aliran Lahar Merapi
Puing-puing yang tersisa
Semua karena Kehendak-Nya
Dasyatnya Bencana
Broken Bridge
Setelah berada kurang lebih satu jam berada disana, kamipun beranjak dari daerah sekitaran Merapi dan tiba di kostan Isnin tepat ketika adzan Dzuhur. Untuk menghabiskan hari saya putuskan untuk berkeliling sekitaran Malioboro yang sudah tak asing lagi karena telah saya datang lebih dari 3 kali :). Setelah selesai shalat Dzuhur Saya meminta Eko untuk mengantar hingga ke depan Keraton dan perjalanan saya lanjutkan sendiri. Kunjungan Saya sebelumnya tak sempat untuk bernarsir ria, yah mumpung sendiri kan ga ada salahnya yah klo sesi fotonya nyusul, nasist is not a crime :) . Kembali lagi Saya melewati Alun-alun selatan dengan rute selanjutnya jalan wates untuk mencari dan sekedar mampir ke toko-toko buku, lalu menuju Malioboro, kemudian Saya menuju Benteng Vandenburg, Museum Perjuangan, Taman Pintar, lalu kembali ke arah pintu Masuk Benteng Vandenburg.

La balade avec mon amie/prof

Moi et Pauline

Les Trois

Ketika Saya hendak keluar untuk mencari Coffee Shop, tidak sengaja Saya mendengar suara yang Saya kenal dan tak asing walaupun orangnya asing. Yah, ternyata suara itu adalah suara Pauline le Floch yang sedang bersama seorang wanita asal Belanda travel matenya. Pauline adalah seorang wanita berumur 24 tahun locuteur native atau native speaker di Jurusan Pendidikan Bahasa Perancis tempat Saya belajar. Walaupun Ia tak sempat mengjar Saya, namun Saya dan kawan-kawan seangkatan sangat dekat dengannya. Setelah say hallo, Pauline mengajak saya untuk bergabung bersamanya menuju Pasar Bringharjo. Untuk menjadi tour guide dadakan mereka, untuk ukuran Pauline dia sebenarnya bisa dikatakan lancar berbicara Bahasa Indonesia meski berada di Indonesia sekitar 4 bulan, Ia juga sudah sering pergi ke Pasar Baru, salah satu sentra perbelanjaan di Bandung seorang diri, dan yah lihai dalam tawar menawar harga. 
Prenons du Cafe
Setelah mendapat barang-barang yang mereka inginkan, Pauline membeli batik bayi untuk keponakan-keponakanya, Kami bertiga berjalan melewati Malioboro menuju Jalan Sastrowiyono tepatnya ke Cafe Bintang. Ketika tengah melewati Malioboro kami di kejutkan oleh pria paruh baya yang menghampiri dan menawarkan batik kepada Pauline dan si Cewek Belanda yang saya lupa namanya. Dengan nada sedikit memaksa Ia berkata "Miss just $100, Miss.. cheap..cheap.." saya tak mau terlibat karena pernah punya pengalaman sebelumnya disemprot oleh pedagang seperti si Bapak, hehe. Dengan Bahasa Indonesianya yang lancar Pauline menolak dan sang pedagan pun menghilang.

Zusje et Pauline

Dipilih-dipilih
Kami sudah berada dipersimpangan menuju Cafe Bintang namun kembali seperti torror si pedagan kembali mengejutkan dengan setengah berlari Ia menawarkan "Miss just $ 84, Miss.. cheaper..cheaper.." Dan tak terjadi juga transaksi, kamipun tiba di Cafe Bintang, serta bergabung bersama kami Philipe pria Jerman yang lebih tua dari kami bertiga. Setelah berkenalan dengan Philipe, obrolan diantara kami pun mengalir dihiasi oleh senyum dan tawa kecil hingga terbahak-bahak. Obrolan kami kami pastinya dalam English, karena mwnyesuaikan dengan kawan Belanda Pauline, namun Philipe yang berbahasa Germany, juga bisa berbahasa Prancis, sesekali Saya, Pauline dan Philipe menjahili si Zusje dengan bercakap-cakap Bahasa Prancis. Sesaat kemudian kami bertiga pun asik menjadi pendengar kisah dari Philipe yang lebih senior atau Tua lah tepatnya, pengalaman-pengalaman hidupnya, perjalanannya higga peristiwa apesnya kehilangan dompet dan isi-isinya yang membuatnya harus miskin mendadak dalam menunggu pengalihan tabungan. Tak lama kenudian Philip pamit pada kami dan bergegas pergi karena telah memiliki janji. Namun setelah itu personil kami tetap menjadi empat karena bergabung kawan Pauline yang lagi-lagi saya lupa namanya, Ia juga pengajar Bahasa Prancis di Yogya anaknya masih muda semuran Saya cantik pula, yang mau ngacung...? hehe. Tak terasa sudah pukul 17.00 dan pertemuan kami berakhir disana. Kami berpisah di daerah belakang Malioboro, lalu Saya melanjutkan perjalanan berjalan kaki dengan sebatang rokok yang baru saja Saya nyalakan mengikuti pinggiran jalan tanpa trotoar. Tiba-tiba serasa serangan jantung (mungkin gitu kali rasanya) sebuah mobil Avanza yang melaju dengan kecepatan diatas normal untuk ukuran jalan yang cukup untuk dua kendaraan memberikan klakson dasyat. "Tiiiiiiiiitttttttt" dan "wussss" lewat saja, tanpa berhenti untuk sekedar mamarahin atau apalah, yang pasti akan Saya ladeni. haha. Pauline yang sudah berbelok arah pun sempat kembali memunculkan kepalanya hanya untuk memastikan apakah Saya jadi korban tabrak lari. Alhamdulillah tidak :)

Tujuan Saya kali ini adalah pulang ke kostan Isnin di Jalan Kaliurang, tanpa tau arahnya kemana tapi take it easy, dengan menumpangi "Trans Jogja" pasti sampai dan skalian tidur, capek juga jalan-jalan tanpa arah seharian. Saya pilih daerah yang ada tujuan ke Halte Condong Catur namun dengan paling jauh, agar bisa tidur nyanyak dan bangunya bisa segar kembali. Dengan ongkos Rp 6.000,00 Saya sudah berada di dalam bus Lalu tidur pulas. Tak terasa (namanya juga tidur pulas) Saya tiba di Halte Condong Catur, lalu menunggu jemputan dari Isnin, maklum Jakal (Jalan Kaliurang ga ada akses Trans Jogja). Dalam penungguan Saya tak sendiri, ketika sedang asik ngebul lewat didepan Saya sosok yang tak asing yang ternyata Kakak kelas ketika di Pesantren Taufik namanya. Saya mencoba menegurnya Dia pun monolerh dan obrolan panajang pun terjadi. Namun Saya segera pamit dan mininggalkannya karena jemputan telah datang. Obrolan Saya tutup dengan *samapai ketemu fik, suskses bro.

Malam ini Saya habiskan dengan menu ngobrol saja hingga larut dengan Isnin dan kembali tidur. Pagi harinya seperti biasa sarapan a la kuliner Jogja dan beberapa batang rokok serta kopi hitam jadi pilikan Saya. Sedaaap. Sebenarnya saya akan meniggalakan Jogja hari ini, karena hujan sudah deras mengguyur yah dian saja lagi. Lalu obrolan kami berlanjut tentang film, berbagai judul film dan pesan-pesannya tak luput dar bahasan. Isnin menawarkan salah satu film yang Ia miliki di komputernya, namun film korea yang bukan faforit saya dan sumpah selama ini saya tidak pernah mengkonsumsi film dari Negeri Gingseng itu sebelumnya. "Love Story in Harvard" judulnya, film yang pernah ditayangkan disalah satu tv swarta nasional dalam bentuk serial tv yang kurang lebih 19 episode itu jadi santapan selanjutnya. Dan inilah film korea yang pertama kali Saya tonton, bukan karena apa tapi karena ceritanya yang ngena banget, dan Saya suka namun bukan berarti Saya suka semua tapi pilih-pilihlah toh ga kalah sama produk Holy dan Bolywood yang bisa bikin penontonnya termehek-mehek, maaf Saya tidak ya cuma nyemtuh aja :) . Sakin asiknya sudah sehari Saya menghabiskan waktu di depan monitor, dan berhenti hanya untuk sholat Dzuhur, ashar, Magrib dan Isya serta makan siang, malam juga beli rokok. Setelah Khatam Saya mengajak Isnin keluar, menikmati malam terakhir Saya di Jogja. Kebetulan Kami berdua aldalah Durian Lovers jadi jadwalnya adalah berburu durian disekitaran Jogja. Dengan negosiasi yang alot durian seharga Rp 35.000,00 menjadi penutup last night di Jogja kali ini.

Trip lanjut ke Pacitan: Click here

No comments:

Post a Comment