Gapura dibelakang Kantor Desa |
Perjalanan pagi
hari itu Saya masih bersama Byllan menunggangi 'si gesit irit' Suzuki Smash biru,
mengitari Kecamatan Detusoko. Sebagai rider hari itu Saya sangat tidak peduli
dengan desa mana yang akan dikunjungi, bagaimana jalur yang akan dilewati,
tugas Saya hanya megang stang setir. Anyway, Saya pernah mendengar cerita sakral
yang luar biasa di Kabupaten Ende ini, Saya tidak pernah tau kalau cerita yang
keluar dari mulut Pak Cen ketika kami tengah menikmati kopi ternyata
backgroud-nya adalah Desa Wologai. Beruntungnya Saya bisa melihat bukti tempat
yang keasliannya tinggal cerita, meskipun telah dibangun kembali.
Sore itu kami
berdua meniggalkan Ende lebih awal, sedangkan enam kawan-kawan lainnya dengan
tiga sepeda motor masih berkeliling ke desa-desa wilayah terluar Kecamatan Ende
yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kelimutu. Tugas kami berdua adalah
mencari penginapan yang murah-meriah namun tetap layak di Moni. Setelah
menemukan penginapan yang cocok dengan badget, kami menghubungi salah satu
kolega yang bisa dihubungi dari kenalan di Larantuka. Pak Cen, sang pemilik
Centy Café, cafe sederhana dengan beberapa perangkat computer dan jaringangan
internet yang tidak beroprasi. Dalam perjalanan menuju Moni kami diguyur hujan, segelas kopi jadi pilihan pas ketika ngobrol dengan Pak Cen.
Bagian belakang |
Singkat cerita
Pak Cen, mulai mengalirkan cerita yang membuat Saya serasa didongengkan. Pak
Cen masih keturunan raja-raja dan bangsawan di Moni, pantas saja pengetahuannya
tentang sejarah, budaya, seni, mitos dan hal-hal lain tentang Lembah Kelimutu
ini sangat luas. Saat itu pula Gunung Kelimutu sedang ditutup untuk pendakian,
kata warga setempat lagi batuk. Dari pengalaman sebelumnya kata Pak Cen, Bung
Karno dan keluarganya punya hubungan erat dengan Kelimutu.
Ketika masih
hidup dan masih menjabat sebagai Presiden, Bung Karno sering berkunjung ke Kelimutu. Pada waktu
Bung Karno wafat pun entah hanya kebetulan, Kelimutu memberi tanda dengan
erupsi. Saat lengsernya diktator Soeharto dengan demonstrasi besar-besaran pada
periode Mei 1998, Kelimutu memberikan tanda dengan masa erupsi yang cukup lama.
“Kita tunggu saja saat ini, apa kabar yang ingin disampaikan Kelimutu dengan
erupsinya itu, apakah berkaitan dengan kondisi politk tahun depan? tunggu saja” Ujar Pak Cen. Dan ternyata beberapa hari setelah itu terdengar
kabar wafatnya negarawan, menantu Bung Karno, Bapak Taufiq Kiemas.
Pak Cen juga
menceritakan tentang gendang yang terbuat dari kulit manusia, dan
legenda-legenda suku Lio yang legendaries, hingga peristiwa terbakarnya kampung
Adat Wologai. Sayang sekali, saya hanya sekedar mengandalkan ingatan ketika
menyimak cerita-cerita Pak Cen tentang kebudayaan mereka yang luhur, uhur, dan
sangat kental dengan perilaku agraris, religius, sekaligus magis dengan
kedekatannya yang kuat pada alam. Seingat Saya, peristiwa terbakarnya Desa Adat
Wologai akhir dari legenda pernikahan seorang gadis suku Lio (mohon koreksi
jika salah).
Salah satu sudut |
Kampung adat
Wologai terletak di desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko kira-kira 40 km
arah timur kota Ende. Kampung ini merupakan salah satu dari 24 komunitas Adat
Suku Lio yang berada di sekitar Taman Nasional Kelimutu. Dusun Wologai
telah mengalami berbagai pergantian desa yang nenek moyangnya berasal dari
Gunung Lepembusu. Urusan kerjaan kali ini, giliran melalukan wawancara dengan perangkat Desa ada
pada Byllan. Saya sempat
menyimak pertanyan yang diberikan Byllan hingga pertanyaan “apa potensi wisata
di Desa ini?” Tanya Byllan. “Kampung Adat Wologai” jawab Sekdes. Dalam pikiran
Saya setelah kebakaran Desa itu tinggal cerita, tapi ternyata masih ada. Saya
segera beranjak keluar menikmati suasana Lembah Dusun Wologai. Dari pintu gerbang
terpamapang ucapan selamat datang, jalan lorong menuju kawasan rumah
adat terbuat dari susunan batu pualam pipih terangkai hingga menapaki tangga.
Sontak saja Saya
melihat rumah-rumah tradisional di atas bukit itu, lalu Saya mendekat dan
mengamati warisan leluhur masyarakat Lio. Di kelilingi oleh pegunungan asri dan
lebat disekitar Taman Nasional Kelimutu, menggambarkan kekuatan alam yang
mereka junjung tinggi. Lekuk-lekuk punggungan gunung tampak jelas dari sana,
hawa segar lembah, material bebatuan dan kayu, serta pehon-pohon besar yang
tumbuh di sekitar rumah adat seakan-akan membawa imajinasi ke masa silam.
Sambil bergerak mengitari setiap sudut rumah adat yang terdiri dari lima rumah,
empat berada di setiap sudut dan satu berada di tengah. Ketika melihat rumah
paling belakang, Saya melihat mendekati seorang wanita berumur sedang menjemur
padi.
Langkah pertama |
“Selamat siang
mama, lagi bajemur padi ini e..?” Saya menyapa. “Iyo ana’ mama
baru abis panen, ini panas matahari harus cepat-cepat jemur padi” Jawab si mama.
Lalu saya berkata lagi “Iyo mama, boleh sayaputar-putar liat rumah adat mama?” Jawaban mama itu, membuat sara
sumringan namun tetap ada batasan. “Boleh ana’ boleh, turis-turis saja boleh
tapi jangan naik ke rumah yang ditenga ya! Harus ada tua adat baru bole nae
situ, yang sebelah sana rumah mama dari kecil, tapi sekarang mama pindah” jawab
mama sambil menunjuk ke rumah sebelah kiri. Terasa sekali aura megasi pada
rumah yang berada di tengah itu, pembangunan kembali pasca kebakaran bisa
dilihat dari kondisi bangunan yang masih terbilang baru. Sayang sekali
pandangan saya untuk mencari tau isi rumah sakral itu tak sampai, karena selain
silau cahaya matahari, celah-celah rumah itu cukup rapat. Mudah-mudahan juga ga
ada isinya.
Masyarakat adat Lio memegang pola garis
keturunan Ibu yang memegan peranan dalam kemasyarakatan maupun keluarga, tapi
kekuasaan tidak juga dipegang oleh garis keturunan langsung seorang perempuan,
peran kau Laki-laki masih tetap sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat. Ada sebuah rumah, oleh
masyarakat Lio disebut sebagai rumah utama ibu, yang diperbolehkan berada di dalamnya hanya kaum
perempuan saja. Hal tersebut sebagai simbol masyarakat matrilineal. Yang
menarik lagi, setiap ruangan di dalam rumah mempunyai nama ruangan berbeda-beda
dan yang diambil dari nama bagian anggota tubuh perempuan, seperti penyusuan
dan rahim.
Latar gunung |
Rumah adat
berarsitektur tradisional yang tertata rapi membentuk lingkaran, dengan sejumlah
atraksi budaya yang dapat dipentaskan kepada pengunjung terutama saat upacara
adat berlangsung
menjadikan Desa Wologai sebagai salah satu tujuan wisata favorit di Flores. Susunan-susunan
batu alam dijadikan pondasi, tampak ada beberapa tingkat yang menjadikan rumah
sakral ditengah itu berada pada tingkat paling atas. Terik matahari siang itu
membuat saya mengalah, tidak terlalu lama berada di lokasi, suasana desa yang
tampak masyarakat tengah sibuk dengan aktiftas masing-masing membuat saya tak
banyak mendapatkan informasi, hanya informasi Pak Cen yang saya sadari. Urusan
pekerjaan selesai dan kami meninggalkan Desa Wologai melanjutkan perjalanan
entah berapa kilometer yang terhitung hanya melewati tujuh punggungan gunung dari
Desa Wologai.
No comments:
Post a Comment