Wednesday, December 4, 2013

Kampung Adat Wologai



Gapura dibelakang Kantor Desa

Perjalanan pagi hari itu Saya masih bersama Byllan menunggangi 'si gesit irit' Suzuki Smash biru, mengitari Kecamatan Detusoko. Sebagai rider hari itu Saya sangat tidak peduli dengan desa mana yang akan dikunjungi, bagaimana jalur yang akan dilewati, tugas Saya hanya megang stang setir. Anyway, Saya pernah mendengar cerita sakral yang luar biasa di Kabupaten Ende ini, Saya tidak pernah tau kalau cerita yang keluar dari mulut Pak Cen ketika kami tengah menikmati kopi ternyata backgroud-nya adalah Desa Wologai. Beruntungnya Saya bisa melihat bukti tempat yang keasliannya tinggal cerita, meskipun telah dibangun kembali.

Sore itu kami berdua meniggalkan Ende lebih awal, sedangkan enam kawan-kawan lainnya dengan tiga sepeda motor masih berkeliling ke desa-desa wilayah terluar Kecamatan Ende yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kelimutu. Tugas kami berdua adalah mencari penginapan yang murah-meriah namun tetap layak di Moni. Setelah menemukan penginapan yang cocok dengan badget, kami menghubungi salah satu kolega yang bisa dihubungi dari kenalan di Larantuka. Pak Cen, sang pemilik Centy Café, cafe sederhana dengan beberapa perangkat computer dan jaringangan internet yang tidak beroprasi. Dalam perjalanan menuju Moni kami diguyur hujan, segelas kopi jadi pilihan pas ketika ngobrol dengan Pak Cen.

Bagian belakang
Singkat cerita Pak Cen, mulai mengalirkan cerita yang membuat Saya serasa didongengkan. Pak Cen masih keturunan raja-raja dan bangsawan di Moni, pantas saja pengetahuannya tentang sejarah, budaya, seni, mitos dan hal-hal lain tentang Lembah Kelimutu ini sangat luas. Saat itu pula Gunung Kelimutu sedang ditutup untuk pendakian, kata warga setempat lagi batuk. Dari pengalaman sebelumnya kata Pak Cen, Bung Karno dan keluarganya punya hubungan erat dengan Kelimutu. 

Ketika masih hidup dan masih menjabat sebagai Presiden, Bung Karno sering berkunjung ke Kelimutu. Pada waktu Bung Karno wafat pun entah hanya kebetulan, Kelimutu memberi tanda dengan erupsi. Saat lengsernya diktator Soeharto dengan demonstrasi besar-besaran pada periode Mei 1998, Kelimutu memberikan tanda dengan masa erupsi yang cukup lama. “Kita tunggu saja saat ini, apa kabar yang ingin disampaikan Kelimutu dengan erupsinya itu, apakah berkaitan dengan kondisi politk tahun depan? tunggu saja” Ujar Pak Cen. Dan ternyata beberapa hari setelah itu terdengar kabar wafatnya negarawan, menantu Bung Karno, Bapak Taufiq Kiemas. 

Pak Cen juga menceritakan tentang gendang yang terbuat dari kulit manusia, dan legenda-legenda suku Lio yang legendaries, hingga peristiwa terbakarnya kampung Adat Wologai. Sayang sekali, saya hanya sekedar mengandalkan ingatan ketika menyimak cerita-cerita Pak Cen tentang kebudayaan mereka yang luhur, uhur, dan sangat kental dengan perilaku agraris, religius, sekaligus magis dengan kedekatannya yang kuat pada alam. Seingat Saya, peristiwa terbakarnya Desa Adat Wologai akhir dari legenda pernikahan seorang gadis suku Lio (mohon koreksi jika salah).

Salah satu sudut
Kampung adat Wologai terletak di desa Wologai Tengah, Kecamatan Detusoko kira-kira 40 km arah timur kota Ende. Kampung ini merupakan salah satu dari 24 komunitas Adat Suku Lio yang berada di sekitar Taman Nasional Kelimutu. Dusun Wologai telah mengalami berbagai pergantian desa yang nenek moyangnya berasal dari Gunung Lepembusu. Urusan kerjaan kali ini, giliran melalukan wawancara dengan perangkat Desa ada pada Byllan. Saya sempat menyimak pertanyan yang diberikan Byllan hingga pertanyaan “apa potensi wisata di Desa ini?” Tanya Byllan. “Kampung Adat Wologai” jawab Sekdes. Dalam pikiran Saya setelah kebakaran Desa itu tinggal cerita, tapi ternyata masih ada. Saya segera beranjak keluar menikmati suasana Lembah Dusun Wologai. Dari pintu gerbang terpamapang ucapan selamat datang, jalan lorong menuju kawasan rumah adat terbuat dari susunan batu pualam pipih terangkai hingga menapaki tangga.
 
Sontak saja Saya melihat rumah-rumah tradisional di atas bukit itu, lalu Saya mendekat dan mengamati warisan leluhur masyarakat Lio. Di kelilingi oleh pegunungan asri dan lebat disekitar Taman Nasional Kelimutu, menggambarkan kekuatan alam yang mereka junjung tinggi. Lekuk-lekuk punggungan gunung tampak jelas dari sana, hawa segar lembah, material bebatuan dan kayu, serta pehon-pohon besar yang tumbuh di sekitar rumah adat seakan-akan membawa imajinasi ke masa silam. Sambil bergerak mengitari setiap sudut rumah adat yang terdiri dari lima rumah, empat berada di setiap sudut dan satu berada di tengah. Ketika melihat rumah paling belakang, Saya melihat mendekati seorang wanita berumur sedang menjemur padi.
Langkah pertama
Selamat siang mama, lagi bajemur padi ini e..?” Saya menyapa. “Iyo ana’ mama baru abis panen, ini panas matahari harus cepat-cepat jemur padi” Jawab si mama. Lalu saya berkata lagi “Iyo mama, boleh sayaputar-putar liat rumah adat  mama?” Jawaban mama itu, membuat sara sumringan namun tetap ada batasan. “Boleh ana’ boleh, turis-turis saja boleh tapi jangan naik ke rumah yang ditenga ya! Harus ada tua adat baru bole nae situ, yang sebelah sana rumah mama dari kecil, tapi sekarang mama pindah” jawab mama sambil menunjuk ke rumah sebelah kiri. Terasa sekali aura megasi pada rumah yang berada di tengah itu, pembangunan kembali pasca kebakaran bisa dilihat dari kondisi bangunan yang masih terbilang baru. Sayang sekali pandangan saya untuk mencari tau isi rumah sakral itu tak sampai, karena selain silau cahaya matahari, celah-celah rumah itu cukup rapat. Mudah-mudahan juga ga ada isinya.

Masyarakat adat Lio memegang pola garis keturunan Ibu yang memegan peranan dalam kemasyarakatan maupun keluarga, tapi kekuasaan tidak juga dipegang oleh garis keturunan langsung seorang perempuan, peran kau Laki-laki masih tetap sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat. Ada sebuah rumah, oleh masyarakat Lio disebut sebagai rumah utama ibu, yang  diperbolehkan berada di dalamnya hanya kaum perempuan saja. Hal tersebut sebagai simbol masyarakat matrilineal. Yang menarik lagi, setiap ruangan di dalam rumah mempunyai nama ruangan berbeda-beda dan yang diambil dari nama bagian anggota tubuh perempuan, seperti penyusuan dan rahim.

Latar gunung
Rumah adat berarsitektur tradisional yang tertata rapi membentuk lingkaran, dengan sejumlah atraksi budaya yang dapat dipentaskan kepada pengunjung terutama saat upacara adat berlangsung menjadikan Desa Wologai sebagai salah satu tujuan wisata favorit di Flores. Susunan-susunan batu alam dijadikan pondasi, tampak ada beberapa tingkat yang menjadikan rumah sakral ditengah itu berada pada tingkat paling atas. Terik matahari siang itu membuat saya mengalah, tidak terlalu lama berada di lokasi, suasana desa yang tampak masyarakat tengah sibuk dengan aktiftas masing-masing membuat saya tak banyak mendapatkan informasi, hanya informasi Pak Cen yang saya sadari. Urusan pekerjaan selesai dan kami meninggalkan Desa Wologai melanjutkan perjalanan entah berapa kilometer yang terhitung hanya melewati tujuh punggungan gunung dari Desa Wologai.

No comments:

Post a Comment